Selasa, 31 Mei 2016

Rekam Jejak Data-Data Industri Baja di Indonesia

Industri baja merupakan induk seluruh industri (mother industry) yang memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia. Bagaimana rekam jejak industri ini, siapa market leader, tren pertumbuhan pasar, serta bagaimana peta persaingannya, simak ulasan berikut ini:


A) Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017 ini menampilkan riset independen, data, analisis, kajian, dan outlook secara komprehensif terkait seluruh informasi mengenai industri baja di Indonesia, mencakup highlights, tren pasar baja di Indonesia, tren konsumsi baja dan produksi baja serta ketergantungan impor, nilai pasar (market size) industri baja nasional, pangsa pasar produsen baja per segmen, tren harga baja global dan harga baja lokal, profil singkat market leader di industri baja Indonesia, serta prospek dan tantangan industi ini ke depan.

Sebagai gambaran, industri baja merupakan industri strategis. Sektor ini memainkan peran utama dalam memasok bahan-bahan baku vital untuk pembangunan di berbagai bidang mulai dari penyediaan infrastruktur (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), produksi barang modal (mesin pabrik dan material pendukung serta suku cadangnya), alat transportasi (kapal laut, kereta api & relnya, otomotif), manufaktur (elektronik, permesinan, turbin dan pembangkit), hingga persenjataan. Atas perannya yang sangat penting tersebut, keberadaan industri baja layak disebut mother industry (ibu dari industri).(profil ringkas halaman 3-6)

Pada halaman 7 ditampilkan chart (infografik) terkait struktur industri baja nasional mulai dari pertambangan bijih besi, pengolahan pellet, iron making, steel making, hingga produk jadi. Di halaman 8, ditampilkan tren perkembangan industri baja global, dari mulai tren penurunan harga jual hingga level terendah di akhir 2015 hingga permintaan (demand) di China yang anjlok sehingga mengakibatkan oversupply. Juga ditampilkan tren harga baja ekspor China dan harga impor baja ASEAN.

Di halaman 9, ditampilkan tren konsumsi produk baja akhir di Indonesia yang pada 2014 mencapai 12,9 juta ton, sementara produksi baja lokal hanya 5,5 juta ton, sehingga terjadi defisit pasokan sekitar 7,4 juta ton yang masih bergantung impor. Juga dijelaskan sejumlah katalis atau faktor pendorong konsumsi produk baja di Indonesia.

Sementara menurut kompilasi data yang diperoleh duniaindustri.com, konsumsi produk baja di Indonesia pada 2015 diestimasi 15,3 juta ton, naik dari tahun sebelumnya 14,2 juta ton. (halaman 10) Secara khusus, duniaindustri.com membuat riset terkait pasar baja lokal untuk proyeksi 2016-2017 disertai dengan tren produksi periode 2007-2017. (halaman 11).

Di halaman 12, duniaindustri.com menampilkan hasil riset terkait nilai pasar (market size) industri baja di Indonesia yang dihitung berdasarkan tingkat konsumsi nasional serta rata-rata harga baja global. Pada 2017, menurut perhitungan duniaindustri.com, total market size industri baja nasional diperkirakan mencapai US$ 7,7 miliar. Di halaman 13, ditampilkan infografik terkait utilisasi pabrik baja di Indonesia mulai dari iron makin, steel making, rolling mill, pipe making, galvanizing mill, nails, wires, bolds & nuts, coil centers, lengkap dengan kapasitas produksi nasional.

Di halaman 14, ditampilkan tren harga baja dunia yang mulai menunjukkan rebound pada Februari-Maret 2016. Tren harga baja hulu dan baja hilir juga dipaparkan lebih detail di halaman 15. Sedangkan konsumsi baja per segmen ditampilkan lebih detail dalam tabel di halaman 16. Sementara di halaman 19-30 ditampilkan profil singkat market leader di industri baja hulu dan hilir di Indonesia, lengkap dengan kinerja keuangan dan kapasitas produksinya.

Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017 sebanyak 36 halaman ini berasal dari riset duniaindustri.com dengan dukungan data yang berasal dari Kementerian Perindustrian, Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), BPS, WHO dan Bank Dunia, dan sejumlah perusahaan baja di Indonesia. Indeks data industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan.(*)

B) Data dan Analisis Industri Baja Periode 2000-2014 ini menampilkan analisis sejarah industri baja dari 1960-an sampai 2014, ketergantungan impor masih menjadi kendala utama sehingga defisit pasokan baja lokal berlanjut hingga 2014. Juga ditampilkan profil industri baja Indonesia dan prospek ke depan. Analisis itu dilengkapi dengan data perbandingan konsumsi dan produksi baja periode 2000-2014, konsumsi baja per segmen, konsumsi baja per kapita, utilisasi industri baja nasional, tren harga baja di pasar internasional, dan pemimpin pasar baja Indonesia (HRC, CRC, dan wire rod).

Selain itu, ditampilkan data bahan baku bijih besi, pohon industri baja, dan perkembangan investasi industri hulu baja. Ditambah lagi, data produksi dan konsumsi baja Indonesia dibanding negara-negara ASEAN. Data dan analisis komprehensif yang berjumlah 25 halaman ini merupakan hasil kompilasi tim riset Duniaindustri.com, berasal dari Kementerian Perindustrian, Asosiasi Industri Baja Indonesia (IISIA), Asoasiasi Industri Baja ASEAN (SEAISI), serta sejumlah produsen baja terbesar di Indonesia.(*)

C) Data Komprehensif Industri Baja di Indonesia ini menampilkan pohon industri baja, mulai dari yang telah diproduksi lokal maupun yang masih diimpor, volume produksi, nilai PPN & PPh, jumlah tenaga kerja, konsumsi baja hulu-hilir, konsumsi baja per kapita, utilisasi kapasitas produksi, perbandingan kapasitas terpasang negara Asean, hingga dampak perdagangan bebas. Data sebanyak 26 halaman ini berasal dari Asosiasi Produsen Baja (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, BPS.(*)

D) Data Permintaan Baja di Indonesia. Data Permintaan Baja di Indonesia (sepuluh tahun terakhir) ini menggambarkan perkembangan permintaan baja, defisit pasokan baja lokal, serta tren harga bahan baku dan gas sebagai penunjang industri baja nasional. Periode yang ditampilkan sepuluh tahun terakhir.(*)

E) Data Produksi dan Pangsa Pasar 4 Pemimpin Pasar Baja Canai Panas (HRC) ini berisi produksi dan pangsa pasar empat pemain besar di industri baja canai panas, antara lain PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), PT Gunung Raja Paksi, PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST), dan PT Jayapari Steel Tbk (JPRS).(*)

Sumber: di sini
* Butuh data lebih spesifik, ingin request data/riset, klik di sini
** Butuh content provider profesional, klik di sini

Kamis, 19 Mei 2016

Inilah Pabrik TV LED Terbesar Milik Sharp

PT Sharp Electronics Indonesia (SEID), produsen elektronik home appliances, mulai mengoperasikan pabrik LED televisi terbaru di Karawang International Industrial City (KIIC), Desa Sirnabaya, Kecamatan Teluk Jambe Timur, Karawang, Jawa Barat. Pabrik baru yang menelan investasi Rp 1,2 triliun ini menjadi yang terbesar di antara pabrik Sharp di seluruh dunia, guna memperkuat penetrasi market share perseroan.

Dengan pengoperasian pabrik tersebut, investasi Sharp di Indonesia sejak 1970 hingga saat ini sudah mencapai Rp 4 triliun. Pabrikan asal Jepang ini pun mampu mempekerjakan 4.000 orang. ”Kami mengapresiasi Sharp yang mau berinvestasi lebih besar lagi di Indonesia. Kami berharap dengan era perdagangan bebas seperti sekarang, misalnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, Sharp mau meningkatkan volume ekspornya,” ujar Menteri Perindustrian Saleh Husin dalam kata sambutan peresmian pabrik LED TV Sharp di Karawang kemarin.

Menurut Saleh, nilai investasi itu memperlihatkan keseriusan pabrikan asal Jepang ini berusaha di Indonesia. ”Namun, kami berharap dengan MEA sekarang, Sharp mau meningkatkan volume ekspornya dari yang sekarang hanya 6%,” harapnya. Selain meningkatkan volume ekspor, pemerintah berharap persentase komponen lokal ditambah lebih banyak lagi. Saat ini kementeriannya mencatat komponen lokal Sharp baru 40%.

Presiden Direktur SEID Fumihiro Irie mengatakan, ke depan Sharp akan mendongkrak penjualan ekspor. Namun, saat ini perusahaan hanya fokus untuk penjualan dalam negeri. ”Untuk ekspor pasti akan dilakukan, tapi saat ini kami fokus memenuhi kebutuhan dalam negeri,” papar Fumihiro.

Terkait pabrik LED TV, dia berharap kapasitasnya bisa menutupi pertumbuhan pasar televisi yang dalam masa transisi dari CRT atau TV tabung ke layar datar. ”Permintaan LED TV di Indonesia terus meningkat. Karena itu, kami memutuskan untuk memindahkan pabrik di Pulogadung (Jakarta) ke Karawang (Jabar).

Dengan pemindahan ini, maka kapasitas produksi LED TV kami makin besar,” kata Fumihiro. Pabrik Sharp di Pulogadung sebelumnya hanya mampu memproduksi televisi di bawah 50.000 unit per bulan. Sedangkan, di pabrik baru Sharp mampu memproduksi 70.000 unit. ”Sementara, kapasitas pabrik 1 juta unit dengan dua line produksi dan satu shif kerja,” katanya.

Dengan penambahan kapasitas ini, Sharp ingin menaikkan pangsa pasar televisinya di Indonesia, yakni dari 13,4 persen pada 2015 menjadi 25 persen pada tahun ini. Investasi pabrik baru seluas 11.000 meter persegi tersebut menghabiskan Rp55 miliar. Memulai konstruksinya sejak Maret 2015, pabrik ini menjadi satu-satunya pabrik TV Sharp di ASEAN yang fokus menggarap pasar domestik.

”Indonesia memegang peranan sangat besar terhadap bisnis Sharp secara global. Dengan kontribusi lebih dari 40 persen dari total penjualan Sharp di ASEAN, Indonesia menjadi pasar terbesar ketiga untuk produk Sharp di luar Jepang setelah China dan Amerika Serikat,” ungkap Irie.

Di pabrik barunya ini, Sharp akan memproduksi 11 model LED TV yang fitur-fiturnya disesuaikan dengan kebutuhan maupun selera lokal. Tentunya melalui riset yang dilakukan oleh tim khusus pengembangan produk SEID. Di pabrik Karawang Sharp memproduksi LED TV dengan dua ukuran bentang layar, yaitu 32 inci sebanyak 70 persen dan sisanya 24 inci.

Dalam mengoperasikan pabrik TV ini, Sharp menyerap sekitar 172 orang tenaga kerja lokal dan 1 tenaga kerja asing, serta 44 pemasok lokal. Salah satu model LED TV yang diproduksi di pabrik baru ini adalah Sharp Aquos IIOTO. Pabrik di Karawang merupakan perluasan dari pabrik sebelumnya di kawasan Pulogadung, Jakarta, yang mulai dibangun pada 2012 guna meningkatkan kapasitas produksi lemari es dan mesin cuci.

Dengan diresmikannya pabrik LED TV Sharp ini, maka seluruh pabrik SEID telah terintegrasikan di Karawang. Kawasan pabrik SEID di Karawang seluas 31 hektare dengan investasi Rp1,2 triliun ini menjadi pabrik home appliances terbesar di antara pabrik Sharp lainnya di seluruh dunia.(*)

Sumber: di sini

Kamis, 12 Mei 2016

Lima Perusahaan Tekstil Terbesar di Indonesia

Inilah lima perusahaan tekstil terbesar di Indonesia pada 2015, berdasarkan riset duniaindustri.com dari laporan keuangan masing-masing perusahaan. Di dunia, industri tekstil Indonesia menempati urutan kesembilan dunia untuk garmen dan posisi 11 dunia untuk tekstil.

Di urutan pertama, terdapat PT Indorama Synthetics Tbk (INDR) yang mencatatkan penjualan sebesar US$ 682 juta pada 2015 atau sekitar Rp 8,98 triliun (kurs Rp 13.170/US$). Penjualan emiten produsen tekstil hulu ini pada 2015 turun 11,4% dibanding 2014 sebesar US$ 769,9 juta. Penurunan penjualan juga mempengaruhi laba kotor perusahaan yang melemah, menjadi US$ 62 juta pada 2015 dibanding US$ 73,9 juta pada 2014.

Meski demikian, Indorama mampu mengefisienkan beban sehingga mampu membukukan laba bersih sebesar US$ 9,8 juta pada 2015 dibanding rugi bersih sebesar US$ 936 ribu pada 2014.

PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau lebih dikenal sebagai Sritex menempati urutan kedua, dengan raihan penjualan US$ 631,3 juta pada 2015 atau sekitar Rp 8,3 triliun (kurs Rp 13.170/US$) atau meningkat 7,2% dari 2014 sebesar US$ 589 juta. Laba kotor perusahaan pada 2015 mencapai US$ 133,4 juta, naik 8,9% dari 2014 sebesar US$ 122,4 juta. Laba bersih Sritex pada 2015 tercatat US$ 55,6 juta, naik 10,3% dibanding 2014 sebesar US$ 50,4 juta.

PT Pan Brothers Tbk (PBRX) menduduki urutan ketiga, dengan raihan penjualan 2015 sebesar US$ 418,6 juta atau sekitar Rp 5,5 triliun, naik 23,6% dibanding 2014 sebesar US$ 338,5 juta. Laba kotor emiten produsen garmen ini tumbuh signifikan menjadi US$ 53,6 juta pada 2015 dibanding 2014 sebesar US$ 39,6 juta. Namun, laba bersih perusahaan melemah menjadi US$ 8,6 juta pada 2015 dibanding tahun sebelumnya US$ 9,3 juta.

Pada peringkat keempat, PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) yang mencetak penjualan US$ 390 juta pada 2015 atau sekitar Rp 5,13 triliun, turun 21,5% dibanding 2014 sebesar US$ 493,5 juta. Meski penjualan turun, emiten perusahaan tekstil hulu ini mampu menghasilkan laba kotor US$ 8,15 juta pada 2015 dibanding rugi kotor pada 2014 sebesar US$ 13,8 juta. Asia Fibers masih membukukan rugi bersih US$ 17,78 juta pada 2015, lebih rendah dibanding rugi bersih pada 2014 sebesar US$ 79,8 juta.

Di urutan kelima, terdapat PT Polychem Indonesia Tbk (ADMG) dengan penjualan sebesar US$ 310,8 juta pada 2015, anjlok 30,7% dibanding 2014 sebesar US$ 449 juta. Emiten perusahaan tekstil hulu ini mencatatkan rugi kotor pada 2015 sebesar US$ 14,9 juta, lebih rendah dibanding rugi kotor pada 2014 sebesar US$ 15,6 juta. Perseroan membukukan rugi bersih pada 2015 sebesar US$ 24 juta, relatif stagnan dibanding rugi bersih pada 2014 sebesar US$ 24,2 juta.

Market Size

Nilai pasar industri tekstil dan produk fashion di Indonesia pada 2015 diestimasi mencapai US$ 15,19 miliar atau setara Rp 208 triliun (kurs Rp 13.700/US$), menurut perhitungan tim riset duniaindustri.com. Nilai pasar tersebut tumbuh 4,7% dibanding 2014 sebesar US$ 14,51 miliar, meski dengan pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 7,2% dibanding 2013.

Perlambatan pertumbuhan pada 2015 antara lain disebabkan pelemahan daya beli konsumen lokal menyusul depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perlambatan perekonomian Indonesia, serta anjloknya harga komoditas dunia.

Dari nilai pasar tersebut, sekitar 20% dipasok produk impor dan 80% masih dikuasai produsen lokal, menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Produk impor sebagian besar didominasi produk ilegal yang masuk secara selundupan untuk menghindari bea masuk, sehingga harganya 40% lebih murah dibanding produk lokal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 5 tahun terakhir, rata-rata impor TPT naik 19,9%, ekspor naik 6,8%, sedangkan konsumsi masyarakat naik 18,3%. Kondisi ini dapat bahwa pasar pertumbuhan di pasar domestik digerogoti barang impor, sedangkan ekspor tidak tumbuh signifikan.

Sementara menurut data kalkulasi Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) yang bersumber dari Bank Indonesia, daya beli masyarakat dalam 5 tahun terakhir terus meningkat dimana konsumsi tekstil naik dari 1,21 juta ton ditahun 2009 menjadi 1,75 juta ton ditahun 2014. Selain didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi perkapita yang naik dari 5,03 kg ditahun 2009 menjadi 6,82 kg ditahun 2014.

Keunggulan Produk Lokal

Perusahaan tekstil dan fashion di Indonesia sebenarnya memiliki keunggalan dibanding pesaing di dunia. Hal itu terlihat dari sekitar 200 merek pakaian (fashion brand) dunia diproduksi di Indonesia, seperti Zara, Adidas, Nike, The North Face, Amer Group, Salomon, Arcteryx, Calvin Klein, dan H&M.

Syaiful Bahri, Anggota Asosiasi Petekstilan Indonesia (API) bidang Data dan Informasi, menjelaskan potensi keterlibatan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk ternama di dunia akan terus bertambah. “Kemarin saya mendata sekitar 150 sampai 200 merek dunia diproduksi di Indonesia,” ujar Syaiful.

Dia menilai potensi keterlibatan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk ternama di dunia akan terus bertambah. Menurut dia, dari total produk dengan merek terkenal di dunia juga masih bisa bertambah dari total yang ada saat ini. “Yang pakai Zara, itu produk asli sini, diproduksi di Indonesia,” tambahnya.

Menurut dia, pemerintah harus terus memberikan fasilitas dan juga dorongan kepada industri tekstil yang padat karya di Indonesia. “Bagaimana pemerintah merawat industri ini, jangan temen-temen kita sudah tanam kepercayaan malah tidak berdaya karena kondisi yang tidak kondusif,” tutupnya.

Ketua Umum Asoasiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menambahkan memang banyak produk fashion ternama asal luar negeri yang diproduksi di Indonesia. Namun, daya saing perusahaan tekstil asal Indonesia ini masih kalah dibandingkan negara lain. “Semua produsen dalam negeri memproduksi produk yang sama, seperti untuk H&M, tapi memiliki kualitas produk berbeda-beda, seperti soal kebersihan atau kerapihan,” ujar Ade Sudrajat.(*)

Baca selengkapnya di sini

Mengenal Jenis Generator Set atau Genset

Di zaman modern seperti sekarang ini, hampir semuanya dijalankan oleh listrik. Rumah tangga ataupun industri, keduanya sama-sama mengandalkan listrik untuk bisa melakukan pekerjaannya.

Belakangan ini sering terjadi adanya masalah pemadaman listrik secara tiba-tiba. Masalah tersebut tentunya sangat mengganggu pekerjaan yang mana seharusnya dapat terselesaikan pada saat itu. Belum lagi adanya kerugian keuangan yang diakibatkan karena pemadaman tersebut.

Untuk menghindari bermacam gangguan yang kita lakukan dengan mengandalkan energi listrik, genset atau generator set merupakan solusinya.

Genset adalah mesin yang bisa mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Bisa disebut dengan “Generator Set” dikarenakan di dalamnya ada perpaduan dua jenis perangkat yang berbeda yakni Mesin dan Generator. Mesin pada perangkat ini mempunyai fungsi sebagai pemutar dari generator itu sendiri, sehingga bisa menghasilkan induksi elektromagnetik yang di hasilkan dari perangkat generatornya.

Sekadar informasi, untuk membeli genset sebaiknya kunjungi Ralali.com. Di ralali.com jual genset murah sangat lengkap dan berkualitas terbaik dengan beragam pilihan jenis dan merek. Ralali.com merupakan tempat terbaik membeli genset untuk memenuhi kebutuhan industri.

Dalam memilih genset ini tidak bisa sembarangan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar hasilnya memuaskan dan tidak menyesal di kemudian hari. Berikut ulasannya.

1. Perhatikan Kebutuhan Listrik
Sebelum membeli genset, perhatikanlah terlebih dahulu kebutuhan listrik pada rumah, kantor dan lainnya yang mana genset ini akan digunakan. Hitunglah berapa jumlah watt yang diperlukan serta berapa KWh daya listrik yang dimiliki, dengan demikian kita bisa memilih genset dengan output daya yang lebih besar dari jumlah konsumsi daya listrik yang dibutuhkan.

2. Pilihlah Genset dengan Bahan Bakar yang Mudah Dicari
Genset tersedia dalam bermacam jenis, bahan bakar yang digunakannya pun berbeda-beda, ada genset berbahan bakar bensin, Genset Diesel dengan bahan bakar solar, dan genset dengan bahan bakar bensin campur. Jika dirasa kesulitan dalam mendapatkan solar, maka pilihlah genset berbahan bakar bensin, sehingga memudahkan kita tanpa harus bersusah-payah mencari bahan bakar tersebut.

3. Pilih Genset yang pengoperasiannya Mudah
Bagi yang masih bingung mengenai bagaimana cara mengoperasikan genset, sebaiknya pilih jenis genset yang mudah dioperasikan sehingga sehingga tidak kesulitan sewaktu menghidupkan dan juga mematikannya tanpa harus meminta bantuan orang lain. Dalam membeli genset, sebaiknya tanyakan dahulu kepada penjual genset tersebut mengenai bagaimana cara menghidupkan dan mematikannya.

4. Pilih Genset Silent atau Genset Soundproof
Genset Silent atau Genset Soundproof mempunyai suara yang lembut dan tidak begitu keras, sehingga tidak akan mengganggu kita sewaktu genset ini dihidupkan. Namun, harga genset jenis ini lebih mahal dari pada genset biasa atau genset open, dan ukurannya pun lebih besar.(*)

Baca selengkapnya di sini

Dugaan Kartel Perusahaan Sawit

Sebanyak enam perusahaan sawit yang tergabung dalam Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) terancam didenda oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Soalnya, IPOP diduga menjadi sarana kartel sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat.

Keenam perusahaan sawit itu masing-masing terancam denda Rp125 miliar, yang terdiri atas denda administratif sebesar Rp25 miliar dan sanksi denda pidana Rp100 miliar sehingga total dendanya mencapai Rp750 miliar. Keenam perusahaan tersebut yakni Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri Resources, Asian Agri, dan Astra Agro Lestari (AAL).

”Kami masih melakukan penyelidikan kasus ini. Apabila terbukti, maka mereka masing-masing akan kena denda Rp125 miliar yang terdiri atas denda administrasi maksimum Rp25 miliar dan denda pidana Rp100 miliar,” ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf di Jakarta.

Menurut Syarkawi, KPPU telah melayangkan surat saran kepada Presiden Joko Widodo dan kementerian terkait yang terdiri atas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian Koordinator Perekonomian.

Surat tersebut memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membubarkan implementasi IPOP di Indonesia. Sebab, IPOP menjadi sarana kartel bagi keenam perusahaan yang tergabung di dalamnya. IPOP, menurut Syarkawi, merupakan kesepakatan pelaku usaha yang telah berlaku efektif dan berdampak negatif terhadap persaingan usaha sehingga diduga melanggar UU No 5 Tahun 1999. Menurutnya, jika IPOP dijadikan standar perkebunan kelapa sawit di Indonesia, maka pemerintah harus membuat aturannya.

”Jangan swasta yang membuat aturan, kan pemerintah sudah punya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Jadi, saya pikir tidak perlu ada IPOP,” katanya. Dalam industri kelapa sawit Indonesia, Pemerintah sudah membuat ISPO sebagai kebijakan sertifikasi yang harus dipenuhi setiap perusahaan atau perkebunan sawit. Sertifikasi itu menjadi standar dalam melaksanakan praktik perkebunan sawit berkelanjutan.

Terdapat Perbedaan signifikan antara kesepakatan IPOP dengan kebijakan Pemerintah (ISPO) adalah penetapan standar kriteria lingkungan yang baik untuk perkebunan sawit. ISPO menggunakan standar kriteria high conservation value forest (HCVF), sementara para anggota IPOP sepakat untuk menambahkan kriteria high carbon stock (HCS). Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Gamal Nasir mengapresiasi pandangan KPPU.

Selama ini memang posisi Kementan menolak keberadaan IPOP di Indonesia. Namun, Kementan dalam kasus ini akan mengikuti keputusan yang akan ditempuh Kementerian LHK. Karena dalam kasus ini terkait dengan lingkungan, maka lead-nya ada di Kementerian LHK.

Lima Big Players
Lima perusahaan besar sawit atau lebih dikenal The Big Five Company diperkirakan menguasai 75%-90% perdagangan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Indonesia. Kelima perusahaan itu antara lain Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.

Kelima perusahaan sawit tersebut menampung hampir 90% seluruh tandan buah segar (TBS) dan CPO Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat. Kelima perusahaan itu diketahui mengadopsi pledge (IPOP).

Salah satu perusahaan yang menjadi korban IPOP adalah PT Mopoli Raya Group (MRG). Owner PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah mengungkapkan sejak tiga bulan lalu pihaknya tidak bisa lagi menjual CPO ke grup usaha Wilmar.

“Ketika itu kami membuka lahan di daerah Langsa, Aceh Timur. Pembukaan lahan ini dianggap melanggar kriteria IPOP, sehingga Wilmar yang selama ini menjadi mitra bisnis kami, tak mau lagi membeli CPO kami. Padahal CPO yang kami jual ke Wilmar tersebut bukan dari lahan di Langsa, karena lahan tersebut memang belum berproduksi,” kata Sabri Basyah.

Tentu saja Sabri sangat kecewa dengan perlakuan tersebut. Sebab pihaknya membuka lahan itu telah mengikuti semua aturan yang berlaku di Indonesia. “Tidak ada satupun peraturan pemerintah yang saya langgar, tapi kenapa kami dinilai melanggar aturan IPOP yang dibuat bangsa asing itu?,” katanya.

Oleh karena itu Sabri minta pemerintah bersikap tegas terhadap manajemen IPOP. “Ini kedaulatan kita telah diambil orang asing. Kita diinjak-injak orang asing. Ini penjajahan gaya baru. Karena mereka yang buat aturan itu. Dan kitalah yang menjadi korbannya,” tukas Sabri.

Menurut Sabri, sebenarnya agenda yang diusung Amerika melalui IPOP ini adalah tidak ada lagi ekspansi atau perluasan lahan kelapa sawit (zero growth palm oil) di Indonesia. Tapi Amerika membungkusnya dengan zero deforestation dengan membuat kriteria yang tidak mungkin diikuti oleh pelaku usaha di Indonesia.

Beberapa aspek atau kriteria yang diterapkan dalam IPOP antara lain (1) Melarang ekspansi kebun sawit (No deforestasi), (2) Melarang kebun sawit di lahan gambut (No Peatland), (3) Melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS), dan (4) Melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).

Dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh mata rantai (supply chain) perusahaan dan bersifat dapat ditelusuri. Ini berarti, kendati penandatanganan IPOP dilakukan oleh The Big Five Company, telah menyeret seluruh industri minyak sawit Indonesia ke dalam pasungan IPOP tersebut.

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), San Afri Awang menilai komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP sebagai sesuatu yang tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan  hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi. “Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” ujar San Afri Awang.

Menurut dia, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 jutaan hektar, tetapi pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, kata Awang, usulan-usulan yang masuk banyak ingin membangun kebun sawit, terutama di Papua.

“Andaikata terjadi tukar menukar lahan APL (Alokasi Penggunaan Lain) dan HPK (Hutan Produksi Konversi), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. Jadi sulit karena masih banyak orang mau bangun di Papua,” terangnya.

Awang juga sempat menyatakan bahwa IPOP sudah membahayakan rakyat, terutama petani-petani sawit yang juga menjadi pemasok dari pebisnis besar. Saat mereka tak bisa memenuhi standar tinggi itu, produk sawit mereka bisa ditolak.

Oleh karena itu, ia menilai IPOP sudah melanggar UUD’45 dan sebagai organisasi sudah melampaui kewenangan pemerintah. Sebab, katanya, aturan pemerintah membolehkan pembangunan di hutan sekunder dan semak belukar tua, tetapi dalam IPOP justru dilarang.(*)

Baca selengkapnya di sini