Industri keramik nasional belum lepas dari berbagai tekanan yang dialami tahun ini, seperti perlambatan perekonomian nasional, kelesuan permintaan lokal, depresiasi rupiah, serta harga gas yang tinggi. Tidak heran, industri keramik nasional terpaksa menurunkan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) hingga 20%.
Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) menyatakan, utilisasi industri keramik menurun hingga 20,41% pada tahun ini dari sekitar 90% tahun lalu menjadi kisaran 70%-72%. Penurunan utilisasi itu akan menyebabkan produksi keramik nasional juga anjlok sekitar 20% menjadi 390 juta meter persegi dibanding tahun lalu sebesar 490 juta meter persegi.
“Sejak awal tahun ini sudah terlihat adanya penurunan permintaan. Penurunan produksi setiap pabrik beda-beda, tetapi secara keseluruhan sekitar 70% hingga 72% dari kapasitas yang ada, padahal tahun lalu utilisasinya mencapai lebih dari 90%,” kata Ketua Umum Asaki, Elisa Sinaga.
Elisa menilai, pelemahan ekonomi global dan lesunya sektor properti di dalam negeri membuat permintaan keramik turun cukup dalam. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang merosot tajam, harga gas yang masih tinggi, dan kenaikan upah minimum regional (UMR) semakin menekan industri keramik tahun ini.
“Beban operasional semakin membengkak karena sejumlah kenaikan, tetapi industri juga tidak bisa menaikkan harga karena minimnya permintaan. Sehingga mereka terpaksa mengurangi produksi untuk menutup kerugian,” papar dia.
Padahal, lanjut Elisa, kapasitas produksi industri keramik pada tahun ini mengalami kenaikan 7,69% menjadi 560 juta meter persegi dibanding tahun lalu sebesar 520 juta meter persegi. Tetapi akibat sepinya permintaan, penambahan kapasitas tersebut tidak bisa menggenjot produksi keramik nasional.
“Penambahan kapasitas produksi sudah mulai dilakukan sejak 2 tahun hingga 3 tahun yang lalu saat permintaan keramik sedang booming. Tapi saat pabrik baru mulai beroperasi sekarang, permintaan justru sedang turun, jadi tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal,” ujarnya.
Elisa menambahkan, pabrik-pabrik baru tersebut tetap harus berproduksi untuk mengurangi potensi kerugian perusahaan. Akibatnya, beberapa perusahaan menyiasatinya dengan menurunkan produksi di pabrik eksisting dan juga memproduksi keramik di pabrik baru, meski tidak dengan kapasitas optimal.
“Di awal tahun, produksi industri keramik masih cukup tinggi, karena industri mampu bekerja dengan normal untuk mengisi stok-stok di gudang. Produksi mulai turun pada Maret hingga April ketika stok sudah penuh dan semakin parah sejak Mei hingga September kemarin,” tutur Elisa.
Tahun lalu, penjualan keramik di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 36 tiliun, naik dibanding 2013 yang mencapai Rp 32 triliun. Elisa menambahkan saat ini produksi keramik kelebihan pasokan. Produksi keramik nasional diproduksi oleh 70 produsen keramik yang tercatat di Asaki. “Kami berharap kelebihan produksi karena dalam dua tahun terakhir ini pabrik-pabrik baru mulai beroperasi. Pada saat itu, produsen melakukan investasi untuk memenuhi permintaan keramik dari industri properti yang kala itu tumbuh pesat,” jelasnya.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar