Kali ini kita mau berbicara soal industri manufaktur.
Industri Manufaktur Hanya Tumbuh 4,22%
Indeks pertumbuhan produksi industri manufaktur Indonesia pada kuartal III tahun ini hanya mengalami kenaikan 4,22% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Perlambatan pertumbuhan manufaktur itu ikut disebabkan berlanjutnya perlambatan ekonomi nasional.
Kepala BPS Suryamin dalam konferensi pers mengatakan pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada kuartal III 2015 naik 4,22% (year on year) dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan itu disebabkan naiknya produksi farmasi, produk obat kimia dan tradisional yang naik 15,31%, industri pengolahan naik 13,53%, dan mesin serta perlengkapan naik 8,28%.
Sedangkan jenis industri yang mengalami penurunan antara lain pakaian jadi yang turun 12,01%, minuman turun 7,38%, dan alat angkutan lainnya mengalami penurunan 5,71%. “Sedangkan secara quarter to quarter, pertumbuhan manufaktur hanya naik 1,04%. Ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu, tapi masih tinggi dibanding kuartal ketiga di 2013. Ini karena perlambatan ekonomi,” papar Suryamin.
Suryamin menyatakan, jenis-jenis industri yang mengalami kenaikan terbesar secara kuartalan ini adalah mesin dan perlengkapan yang naik 6,96%, alat angkutan lainnya naik 5,81%, dan industri pengolahan lainnya naik 4,87%. Sedangkan industri yang mengalami penurunan produksi adalah kulit dan alas kaki yang turun 2,91%, karet, barang dari karet dan plastik turun 2,80%, serta minuman yang juga turun 2,87%.
“Jadi industri manufaktur secara kuartalan itu per industri mengalami penurunan, tapi penurunannya memang tidak signifikan, hanya dua persenan. Kalau industri yang naik itu kenaikannya malah signifikan, di atas lima persenan,” ujarnya.
Duniaindustri.com menilai pertumbuhan produksi industri manufaktur hingga kuartal III 2015 tertekan oleh depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perlambatan perekonomian nasional, serta jatuhnya harga komoditas dunia. Hal itu sudah terlihat sejak kuartal II 2015, saat aktivitas industri manufaktur mulai melemah, pabrik memangkas utilisasi, serta tren PHK merebak.
Pertumbuhan produksi industri manufaktur per kuartal III 2015 sebesar 4,22% masih di bawah proyeksi perekonomian nasional yang dibuat Bank Indonesia pada periode yang sama sebesar 4,85%. Hal itu mengindikasikan terjadinya tekanan terhadap industri manufaktur nasional, meski pemerintah telah memberikan sejumlah insentif.
Relatif rendahnya produksi industri manufaktur per kuartal III 2015 sebenarnya sudah tergambar dari survei indeks manajer pembelian (PMI) yang dilakukan The Nikkei/Markit, PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2015 anjlok ke level 47,3 dari 47,8 pada Juni. Sebagai catatan, dari skala 0 hingga 100, level di bawah 50 menunjukkan terjadinya kontraksi dan sebaliknya di atas 50 terjadi pertumbuhan.
Hasil survei itu mengindikasikan dengan kondisi ekonomi yang memburuk, pabrik di Indonesia melepas tenaga kerja pada level tercepat sejak survei dimulai pada 2011. Kondisi itu terjadi karena pesanan baru dari domestik maupun luar negeri menurun pada Juli 2015, seiring pelemahan ekonomi dan jatuhnya kepercayaan pemesan. Hal itu mengisyaratkan awal yang lemah untuk pertumbuhan industri di kuartal III 2015.
“Tingkat inflasi yang moderat dikombinasikan dengan jatuhnya produksi manufaktur menyediakan BI ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter dalam beberapa bulan mendatang, dengan pertemuan (Rapat Dewan Gubernur BI) berikutnya yang dijadwalkan pada 18 Agustus,” kata Pollyanna De Lima, ekonom Markit dalam keterangan tertulis.
Sejumlah asosiasi sektor industri juga melaporkan penurunan penjualan pada semester I 2015 akibat pelemahan ekonomi serta depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Akibat kondisi tersebut, sejumlah industri yang mengalami penurunan penjualan di atas 30% terpaksa menurunkan utilisasi pabrik, bahkan ada yang telah merumahkan pekerja (layoff). Sumber: di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar