Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menganggarkan dana riset dan penelitian dalam APBN 2019 sebesar Rp 35,7 triliun. Jumlah itu naik tajam dibanding alokasi anggaran pada 2017 lalu sebesar Rp24,9 triliun.
Meski demikian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai, anggaran dana riset itu kecil karena harus dibagi untuk 45 kementerian dan lembaga. "Pertama dari sisi APBN dana riset lebih Rp35 triliun untuk 45 kementerian dan lembaga. Jadi dapat dibayangkan diecer-ecer, makanya tidak terasa," kata Sri Mulyani, di Jakarta, Rabu (31/7).
Selain itu, lanjut dia, jumlah ini tidak sepenuhnya diperuntukan untuk penelitian karena 57,2% anggaran habis untuk biaya dan belanja operasional. Dengan jumlah ini, tentu dana penelitiannya tidak cukup membiaya penelitian.
"Sisanya dipakai untuk alokasi jasa iptek dan belanja modal dan bahkan untuk pendidikan dan pelatihan. Tidak langsung riset tapi supporting," kata Sri.
Sebagai langkah solutif, Sri menginginkan peran swasta dalam pendanaan penelitian agar lebih meningkat. Caranya bisa diupayakan lewat pemberian insentif. "Kontribusi kegiatan penelitian masih didominasi pemerintah, 66% dari total belanja penelitian di Indonesia itu dari pemerintah. Peranan swasta hanya 10%. Kurangnya partisipasi swasta pasti ada penyebabnya, paling mudah tidak ada insentif," jelasnya.
Maka dari itu pemerintah mengeluarkan aturan pengurangan pajak luar biasa (super deductible tax), khusus untuk penelitian dan program vokasi. "Di negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi). swasta itu 70 persen. Ini menunjukan adanya perbedaan dominasi pemerintah atau kurang partisipasi swasta," paparnya.
Di sisi lain, anggaran dana riset Indonesia, masih rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya, yakni hanya 0,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara, Thailand 0,4 persen terhadap PDB, Malaysia 0,4 persen terhadap PDB dan yang tertinggi adalah Korea selatan yakni 90,2 persen terhadap PDB.
"Anggaran riset di Indonesia masih minim dibandingkan sejumlah negara. Begitu pun dengan pengelolaannya karena yang digunakan untuk dana riset sendiri tidak lebih dari 50 persen," tuturnya.
Sementara itu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menilai sekitar 81% dari total anggaran riset sebesar Rp 25,8 triliun masih berasal dari APBN 2019. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab anggaran riset Indonesia masih termasuk yang terendah di Asia. Hanya setara 0.25% dari produk domestik brutto nasional. Sementara anggaran riset Malaysia dan Singapura sudah minimal 2% dari PDB masing-masing negara tersebut.
Menurut dia, 70-80% anggaran riset Malaysia dan Singapura bersumber dari swasta. Berbeda jauh dengan Indonesia yang hanya maksimal 10%. Menurut dia, pihak swasta di dalam negeri enggan menggelontorkan dana riset karena takut rugi. "Jika riset yang dibiayai mereka ternyata masih sulit diterapkan di industri secara bisnis, mereka akan rugi. Makanya kualitas dan relevansi hasil riset dengan dunia industri harus ditingkatkan," ujar Nasir.
Ia mengatakan, selain meningkatkan kualitas riset, pihak swasta juga tak mendapat insentif berupa tax deduction dari pemerintah jika mau membiayai sebuah riset. Menurut dia, di Malaysia dan Singapura, pihak industri yang menggelontorkan dana riset mendapat keringanan pajak. "Bahkan triple tax deduction. Ini saya sudah usulkan kepada Menkeu agar kita juga memberikan insentif pajak. Bisa double tax deduction. Jadi, pihak swasta tak akan rugi kalau hasil risetnya tak terpakai untuk bisnis," katanya.
Ia menuturkan, insentif pajak sudah lazim diterapkan di seluruh negara maju. Insentif tersebut menjadi kebijakan yang mampu mempercepat pertumbuhan riset pada bidang prioritas seperti energi, pariwisata dan pertanian. "Sudah dari tahun lalu saya usulkan, tapi kan kewenangannya ada di Kemenkeu. Dari insentif pajak itu memang memungkinkan penerimaan pajak negara jadi berkurang. Tapi, jika pajak itu untuk riset, saya kira tidak apa-apa," katanya.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, Dimyati mengatakan bahwa Kemenristekdikti, Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal sedang menyusun aturan insentif pajak tersebut. Menurut dia, insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan penelitian sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat.
“Double tax deduction pada intinya memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan penelitian. Tujuannya untuk mendorong peran serta sektor swasta melakukan riset dan pengembangan lebih banyak lagi. Mengingat kontribusi sektor swasta yang masih sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain,” kata Dimyati.
Ia mengatakan, percepatan riset dalam negeri terutama pada bidang energi menjadi prioritas. Kalangan akademisi, bisnis dan pengusaha harus bersinergi dan bekerja sama lebih baik. Ia menyatakan, keterbatasan fiskal yang dimiliki negara membuat peran pengusahan menjadi strategis dalam upaya memajukan riset nasional.
Selain insentif pajak, Kemenristekdikti juga mengeluarkan beberapa peraturan untuk mendukung iklim percepatan riset dan pengembangan. Di antaranya rencana induk riset nasional (RIRN), penelitian berbasis output, dan penelitian “multiyears”.
“Jumlah dana riset di Indonesia mayoritas masih berasal dari Pemerintah atau APBN, berbanding terbalik dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, China, Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam, yang mayoritas dana risetnya berasal dari sektor bisnis,” ujarnya.
Dimyati juga menegaskan pentingnya kualitas sumber daya manusia. Bonus demografi pada 2030 harus disambut dengan mempersiapkan beragam kebijakan yang mendukung berkembangnya iklim riset. “Kita harus memanfaatkan ‘golden momentum’ dari keuntungan bonus demografi untuk percepatan riset dalam negeri terutama di bidang energi dengan support dari sektor swasta. Kalangan akademisi, bisnis, dan pemerintah harus berjamaah dalam melakukan riset agar output yang dihasilkan lebih optimal,” katanya.(*/)
Sumber: klik di sini
Mari Simak Coverage Riset Data Spesifik Duniaindustri.com:
Market database
Manufacturing data
Market research data
Market leader data
Market investigation
Market observation
Market intelligence
Monitoring data
Market Survey/Company Survey
Multisource compilation data
Market domestic data
Market export data
Market impor data
Market directory database
Competitor profilling
Market distribution data
Company database/directory
Mapping competition trend
Profiling competitor strategy
Market data analysist
Historical data
Time series data
Tabulation data
Factory directory database
Market segmentation data
Market entry strategy analysist
Big data processor
Financial Modeling/Feasibility Study
Price trend analysist
Data business intelligence
Annual report
* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 169 database, klik di sini
** Butuh competitor intelligence, klik di sini
*** Butuh copywriter specialist, klik di sini
**** Butuh content provider (branding online), klik di sini
***** Butuh jasa medsos campaign, klik di sini
Database Riset Data Spesifik Lainnya:
- Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 169 database, klik di sini
- Butuh 22 Kumpulan Database Otomotif, klik di sini
- Butuh 18 Kumpulan Riset Data Kelapa Sawit, klik di sini
- Butuh 15 Kumpulan Data Semen dan Beton, klik di sini
- Butuh 8 Kumpulan Riset Data Baja, klik di sini
- Butuh 15 Kumpulan Data Transportasi dan Infrastruktur, klik di sini
- Butuh 9 Kumpulan Data Makanan dan Minuman, klik di sini
- Butuh 6 Kumpulan Market Analysis Industri Kimia, klik di sini
- Butuh 3 Kumpulan Data Persaingan Pasar Kosmetik, klik di sini
- Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
- Butuh copywriter specialist, klik di sini
- Butuh content provider (online branding), klik di sini
- Butuh market report dan market research, klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar