Investor asal Amerika Serikat (AS) mencari lahan untuk perkebunan sawit seluas 250 ribu hektare di Indonesia. Investor AS yang namanya terdaftar di bursa efek AS itu menyiapkan investasi US$ 1,25 miliar atau setara US$ 5.000/hektare.
Sumber duniaindustri.com yang mengetahui rencana transaksi itu menyatakan, nama perusahaan AS tersebut cukup tenar di negeri Paman Sam dan ‘mejeng’ di bursa efek AS. “Dia bilang 250 ribu hektare kebun sawit masih ada di Indonesia mengingat Indonesia menjadi produsen sawit terbesar di dunia,” ceritanya.
Dia tidak mau menyebut nama perusahaan AS tersebut karena tidak mau menghebohkan. Lokasi yang diincar perusahaan pun belum mau dibocorkan karena khawatir harga lahan akan naik terlebih dahulu.
Saat ini PT Sinarmas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) menjadi penguasa lahan sawit terbesar di Indonesia. Smart menguasai lahan sawit seluas 480 ribu hektare. Total lahan sawit di Indonesia pada 2012 diperkirakan mencapai 8,2 juta hektare.
Seorang eksekutif SMART yang enggan diungkap jatidirinya menyebutkan dengan luas lahan itu, Sinarmas Agro menjadi produsen sawit terbesar di Indonesia. “Sinarmas Group juga memiliki 1 juta hektare lahan sawit di Papua yang belum digarap,” ujarnya kepada duniaindustri.com.
Peringkat kedua yang menjadi penguasa lahan sawit di Indonesia adalah Wimar International dengan 350 ribu hektare, selanjutnya PT Minamas Plantation, anak usaha Sime Darby Plantation Sdn Bhd (produsen sawit terbesar di dunia) yang menguasai area perkebunan sawit sebesar 280 ribu hektare di 8 provinsi di Indonesia.
Sedangkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) menguasai lahan sawit mencapai 265.000 hektare yang tersebar di Aceh, Jambi, Riau, Kalimantan dan Sulawesi. Perusahaan perkebunan milik Grup Astra ini akan menambah lahan perkebunan baru di wilayah Indonesia Timur sekitar 10.000 hektare.
Saat ini Indonesia sudah melampaui Malaysia menjadi produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia. Indonesia menguasai 44,5% produksi CPO dunia, sedangkan Malaysia 41,3%. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia pada 2012 mencapai 25 juta ton. Angka tersebut setara dengan US$ 25 miliar atau Rp 225 triliun sesuai proyeksi harga sawit di pasar internasional US$ 1.000 per ton.(*)
Baca selengkapnya di sini
Kamis, 31 Maret 2016
Selasa, 29 Maret 2016
Perusahaan Elektronik Korea Cemas dengan Pasar Indonesia
Sebanyak 100 investor dan pimpinan perusahaan asal Korea Selatan di Indonesia berkumpul di salah satu hotel bintang lima di daerah Senayan, dipimpin Dubes Korsel untuk Indonesia, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna menstabilkan perekonomian nasional. Pasalnya, perlambatan perekonomian nasional dalam dua tahun terakhir telah menurunkan omzet industri elektronik di negeri ini sehingga banyak perusahaan di industri ini yang melakukan layoff.
"Mereka (100 investor Korsel) sangat khawatir dengan kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan perlambatan ekonomi Indonesia sehingga mendesak pemerintahan Jokowi untuk bekerjasama guna mengatasi masalah tersebut," kata sumber duniaindustri.com yang mengetahui pertemuan pada akhir bulan lalu.
Menurut mereka, salah satu investor asal Korsel yang cukup gelisah antara lain di sektor industri elektronik. Perlambatan perekonomian nasional ditambah upah pekerja naik serta tekanan inflasi dan depresiasi kurs menekan industri elektronik nasional. Bahkan sejumlah prinsipal elektronik asal Jepang sudah terlebih dahulu menutup pabrik. "Investor elektronik asal Korsel seperti Samsung terus mencermati kondisi ini. Mereka tidak mau investasi mereka lebih dari Rp 30 triliun harus menguap di Indonesia," ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, 100 investor Korsel bertemu Jokowi untuk merumuskan kembali iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Berbagai hambatan dan tantangan perlu diselesaikan bersama agar membuat iklim usaha yang lebih kondusif.
Seperti diketahui, pada Februari 2016 dua prinsipal elektronik asal Jepang, yakni Toshiba dan Panasonic, terpaksa menutup pabriknya di Indonesia awal tahun ini, sehingga menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 2.500 karyawan. Kondisi itu memperparah iklim investasi di industri elektronik, setelah sebelumnya prinsipal Jepang lainnya yakni Sanyo terpaksa menghentikan operasional pabriknya di Indonesia.
"Pabrik Toshiba dan Sanyo sudah dijual ke investor China, yakni Haier dan Skywatch," kata sumber duniaindustri.com menambahkan.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, dengan ditutupnya pabrik Toshiba di Cikarang, maka tinggal menyisakan satu perusahaan di Tanah Air. “Tak lebih dari sebulan, dua raksasa elektronik Jepang, di Cikarang pabrik Toshiba telah resmi tutup. Tak ada lagi pabrik Toshiba di Indonesia kecuali Toshiba Printer di Batam,” ujarnya.
Iqbal menuturkan, pabrik Toshiba di Cikarang tersebut merupakan pabrik terbesar yang ada di luar Jepang dan sebelumnya jadi terbesar di Indonesia dengan jumlah karyawan terkena PHK sekitar 900 orang. “Toshiba yang tutup ini pabrik terbesar di dunia, di Luar Jepang yang terbesar di Indonesia. Hari ini tutup resmi, mulai April awal proses negosiasi pesangon dan pelimpahan wewenang sedang proses negosiasi,” katanya.
Sementara, lanjut dia, Panasonic juga menutup dua pabrik yang berada di Pasuruan dan Cikarang dengan memakan korban PHK sekitar 1.600 orang. “Jadi dua perusahaan Panasonic Lightning di Pasuruan lebih dari 600-an orang dan di Cikarang sekitar 1.000 orang. Di tiga perusahaan dari dua raksasa elektronik ini berarti hampir 2.500 lebih PHK,” pungkasnya.
PT Toshiba Consumer Products Indonesia, salah satu perusahaan manufacturing Jepang yang bergerak di bidang industri elektronik, mengklarifikasi data yang disebutkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan pihaknya. Perusahaan membantah ada 900 karyawan terkena PHK.
Salah satu eksekutif Toshiba Consumer Products yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, total karyawan perusahaan memang sebanyak 900 orang. Namun, akhir Maret nanti hanya akan ada PHK terhadap sekitar 360 orang.
“Total buruh Toshiba sekarang 900 orang, yang di PHK akhir Maret nanti 360-an saja,” ujarnya saat dihubungi wartawan di Jakarta.
Pihak Toshiba juga menjelaskan PHK dilakukan bukan karena pabrik mau ditutup tapi akibat akan diambil alih oleh perusahaan asal China. Selain itu, produksi TV tahun lalu diakui turun menjadi 30.000 unit dari total kapasitas 350.000 unit setahun.
Setelah diakuisisi nanti, produksi TV masih dengan merk Toshiba dan tidak menutup kemungkinan akan produksi barang selain TV. Peluang mempekerjakan karyawan lagi juga tetap ada. “Kemungkinan akan produksi barang-barang selain TV juga dan bukannya tidak mungkin untuk memperkerjakan lebih banyak buruh,” pungkasnya.
Di tempat lain, PT Panasonic Gobel Indonesia membenarkan melakukan penyesuaian terhadap karyawannya. Namun penyesuaian karyawan ini bukan karena anjloknya perekonomian, melainkan karena merger yang dilakukan oleh Panasonic itu sendiri.
Associate Director PT Panasonic Gobel Indonesia Achmad Razaki menjelaskan, merger yang dilakukan tersebut adalah pabrik Panasonic yang ada di Jakarta dengan pabrik yang ada di Surabaya. Hal ini karena Panasonic berkonsentrasi pada satu pabrik, yakni yang ada di Surabaya.
“Sejauh yang saya tahu, itu benar tutup tapi merger, Panasonic dengan Panasonic. Satu Jakarta dan satu lagi Surabaya. Ini semua dialihkan ke Surabaya karena konsentrasinya di sana,” ujar Achmad.
Dia mengungkapkan, pihaknya memberi opsi kepada para karyawan yang ada di Jakarta, apakah mau ikut bergabung dengan Panasonic yang ada Surabaya atau lepas dari Panasonic. Jika tak mau bergabung, maka terpaksa perusahaan memberhentikan karyawannya tersebut.
“Logika sederhananya, tidak mungkin semuanya dibawa ke Surabaya. Ada opsi, kalau yang masih mau gabung, silakan ikut ke Surabaya. Kalau tidak, terpaksa kita lakukan penyesuaian,” tutur Achmad.(*)
Selengkapnya di sini
"Mereka (100 investor Korsel) sangat khawatir dengan kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan perlambatan ekonomi Indonesia sehingga mendesak pemerintahan Jokowi untuk bekerjasama guna mengatasi masalah tersebut," kata sumber duniaindustri.com yang mengetahui pertemuan pada akhir bulan lalu.
Menurut mereka, salah satu investor asal Korsel yang cukup gelisah antara lain di sektor industri elektronik. Perlambatan perekonomian nasional ditambah upah pekerja naik serta tekanan inflasi dan depresiasi kurs menekan industri elektronik nasional. Bahkan sejumlah prinsipal elektronik asal Jepang sudah terlebih dahulu menutup pabrik. "Investor elektronik asal Korsel seperti Samsung terus mencermati kondisi ini. Mereka tidak mau investasi mereka lebih dari Rp 30 triliun harus menguap di Indonesia," ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, 100 investor Korsel bertemu Jokowi untuk merumuskan kembali iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Berbagai hambatan dan tantangan perlu diselesaikan bersama agar membuat iklim usaha yang lebih kondusif.
Seperti diketahui, pada Februari 2016 dua prinsipal elektronik asal Jepang, yakni Toshiba dan Panasonic, terpaksa menutup pabriknya di Indonesia awal tahun ini, sehingga menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 2.500 karyawan. Kondisi itu memperparah iklim investasi di industri elektronik, setelah sebelumnya prinsipal Jepang lainnya yakni Sanyo terpaksa menghentikan operasional pabriknya di Indonesia.
"Pabrik Toshiba dan Sanyo sudah dijual ke investor China, yakni Haier dan Skywatch," kata sumber duniaindustri.com menambahkan.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, dengan ditutupnya pabrik Toshiba di Cikarang, maka tinggal menyisakan satu perusahaan di Tanah Air. “Tak lebih dari sebulan, dua raksasa elektronik Jepang, di Cikarang pabrik Toshiba telah resmi tutup. Tak ada lagi pabrik Toshiba di Indonesia kecuali Toshiba Printer di Batam,” ujarnya.
Iqbal menuturkan, pabrik Toshiba di Cikarang tersebut merupakan pabrik terbesar yang ada di luar Jepang dan sebelumnya jadi terbesar di Indonesia dengan jumlah karyawan terkena PHK sekitar 900 orang. “Toshiba yang tutup ini pabrik terbesar di dunia, di Luar Jepang yang terbesar di Indonesia. Hari ini tutup resmi, mulai April awal proses negosiasi pesangon dan pelimpahan wewenang sedang proses negosiasi,” katanya.
Sementara, lanjut dia, Panasonic juga menutup dua pabrik yang berada di Pasuruan dan Cikarang dengan memakan korban PHK sekitar 1.600 orang. “Jadi dua perusahaan Panasonic Lightning di Pasuruan lebih dari 600-an orang dan di Cikarang sekitar 1.000 orang. Di tiga perusahaan dari dua raksasa elektronik ini berarti hampir 2.500 lebih PHK,” pungkasnya.
PT Toshiba Consumer Products Indonesia, salah satu perusahaan manufacturing Jepang yang bergerak di bidang industri elektronik, mengklarifikasi data yang disebutkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan pihaknya. Perusahaan membantah ada 900 karyawan terkena PHK.
Salah satu eksekutif Toshiba Consumer Products yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, total karyawan perusahaan memang sebanyak 900 orang. Namun, akhir Maret nanti hanya akan ada PHK terhadap sekitar 360 orang.
“Total buruh Toshiba sekarang 900 orang, yang di PHK akhir Maret nanti 360-an saja,” ujarnya saat dihubungi wartawan di Jakarta.
Pihak Toshiba juga menjelaskan PHK dilakukan bukan karena pabrik mau ditutup tapi akibat akan diambil alih oleh perusahaan asal China. Selain itu, produksi TV tahun lalu diakui turun menjadi 30.000 unit dari total kapasitas 350.000 unit setahun.
Setelah diakuisisi nanti, produksi TV masih dengan merk Toshiba dan tidak menutup kemungkinan akan produksi barang selain TV. Peluang mempekerjakan karyawan lagi juga tetap ada. “Kemungkinan akan produksi barang-barang selain TV juga dan bukannya tidak mungkin untuk memperkerjakan lebih banyak buruh,” pungkasnya.
Di tempat lain, PT Panasonic Gobel Indonesia membenarkan melakukan penyesuaian terhadap karyawannya. Namun penyesuaian karyawan ini bukan karena anjloknya perekonomian, melainkan karena merger yang dilakukan oleh Panasonic itu sendiri.
Associate Director PT Panasonic Gobel Indonesia Achmad Razaki menjelaskan, merger yang dilakukan tersebut adalah pabrik Panasonic yang ada di Jakarta dengan pabrik yang ada di Surabaya. Hal ini karena Panasonic berkonsentrasi pada satu pabrik, yakni yang ada di Surabaya.
“Sejauh yang saya tahu, itu benar tutup tapi merger, Panasonic dengan Panasonic. Satu Jakarta dan satu lagi Surabaya. Ini semua dialihkan ke Surabaya karena konsentrasinya di sana,” ujar Achmad.
Dia mengungkapkan, pihaknya memberi opsi kepada para karyawan yang ada di Jakarta, apakah mau ikut bergabung dengan Panasonic yang ada Surabaya atau lepas dari Panasonic. Jika tak mau bergabung, maka terpaksa perusahaan memberhentikan karyawannya tersebut.
“Logika sederhananya, tidak mungkin semuanya dibawa ke Surabaya. Ada opsi, kalau yang masih mau gabung, silakan ikut ke Surabaya. Kalau tidak, terpaksa kita lakukan penyesuaian,” tutur Achmad.(*)
Selengkapnya di sini
Minggu, 20 Maret 2016
Keren, Indonesia Produsen Rumput Laut Terbesar di Dunia
Dari sekian banyak keunggulan komoditas Indonesia di dunia, ternyata rumput laut mampu menambah peringkat negeri ini secara global. Bagaimana tidak, Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen rumput laut terbesar di dunia, meski baru memasok rumput laut kering atau barang mentah dan bukan produk olahan bernilai tambah, menurut data yang dikompilasi duniaindustri.com dari Kementerian Perindustrian.
Dari total produksi rumput laut kering dunia sekitar 424.000 ton, Indonesia memasok 56% atau sekitar 237.800 ton per tahun. “Ini peluang untuk industri hilir rumput laut di dalam negeri. Di dunia, terdapat lebih dari 500 jenis produk turunan menggunakan rumput laut. Sementara saat ini sebanyak 152.900 ton atau 64,3% rumput laut produksi dalam negeri diekspor dalam bentuk kering atau belum diolah,” ujar Saleh Husin, Menteri Perindustrian, dalam keterangan tertulis.
Volume rumput laut yang diolah oleh industri domestik hanya sekitar 84.900 atau 35,7% dari total konsumsi dalam negeri. Padahal, total kebutuhan rumput laut sebagai bahan baku industri mencapai 128.600 ton per tahun, dengan demikain terjadi defisit pasokan sekitar 43.800 ton per tahun.
“Pengembangan industri ini mendesak dilakukan, apalagi pelaku industri pengolahan rumput laut di dalam negeri justru kekurangan pasokan bahan baku,” ujarnya.
Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, menambahkan jenis rumput laut komersial yang berada di Indonesia dapat menghasilkan karagenan, agar, dan penghasil alginate.
“Agar diolah menjadi produk akhir pangan, farmasi, kosmetik dan tissue. Sedangkan karagenan diproses lebih lanjut menjadi pangan, saus, pakan ternak serta farmasi. Adapun alginat juga dapat diolah menjadi pangan, saus, tekstil, kosmetik dan farmasi,” tuturnya.
Tertinggal Dibanding China
Kendati menjadi penghasil rumput laut terbesar di dunia, produk olahan rumput laut Indonesia justru masih kalah jauh dibandingkan dengan China.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) Sasmoyo S Boesari mengatakan, hal ini karena industri pengolahan rumput laut di dalam negeri kesulitan mendapatkan pasokan rumput laut.
"Negeri ini merupakan penghasil rumput laut terbesar di dunia, tetapi secara fakta industri dalam negeri kalah bersaing dengan perusahaan luar negeri untuk mendapatkan bahan baku disebabkan kalah dalam persaingan harga," ujarnya.
Menurut dia, China menjadi negara yang mendapat pasokan rumput laut Indonesia paling banyak. Sekitar 70% hingga 80% bahan baku rumput laut yang diolah di China berasal dari Indonesia.
"China bisa dikatakan 70% hingga 80% impor rumput laut dari Indonesia sebagai bahan baku. Dengan kebijakan mereka sudah dapat mempengaruhi peta market dunia," lanjut dia.
Hal ini karena pemerintah negeri tirai bambu tersebut memberikan beragam stimulus dan insentif kepada industrinya sehingga mampu membeli rumput laut dengan harga yang lebih mahal dibanding daya beli industri di dalam negeri.
"Para pengusahanya mendapatkan stimulus sekaligus insentif dari negara mereka dari 15% hingga 35%. Hal tersebut menyebabkan industri dalam negeri harus berjuang keras untuk membeli bahan baku," katanya.
Hal ini yang menyebabkan industri pengolahan rumput laut di dalam negeri tidak bisa berkembang dengan baik. Pemerintah diminta segera turun tangan untuk mengatasi hal ini.
"Hal inilah yang juga menyebabkan tidak berkembangnya refinery rumput laut di Indonesia. Di era globalisasi saat ini investasi bisa tidak terkendali dan semua investor bisa masuk sedangkan industri dalam negeri penguatannya belum siap," tandas dia.(*)
Sumber: di sini
Dari total produksi rumput laut kering dunia sekitar 424.000 ton, Indonesia memasok 56% atau sekitar 237.800 ton per tahun. “Ini peluang untuk industri hilir rumput laut di dalam negeri. Di dunia, terdapat lebih dari 500 jenis produk turunan menggunakan rumput laut. Sementara saat ini sebanyak 152.900 ton atau 64,3% rumput laut produksi dalam negeri diekspor dalam bentuk kering atau belum diolah,” ujar Saleh Husin, Menteri Perindustrian, dalam keterangan tertulis.
Volume rumput laut yang diolah oleh industri domestik hanya sekitar 84.900 atau 35,7% dari total konsumsi dalam negeri. Padahal, total kebutuhan rumput laut sebagai bahan baku industri mencapai 128.600 ton per tahun, dengan demikain terjadi defisit pasokan sekitar 43.800 ton per tahun.
“Pengembangan industri ini mendesak dilakukan, apalagi pelaku industri pengolahan rumput laut di dalam negeri justru kekurangan pasokan bahan baku,” ujarnya.
Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, menambahkan jenis rumput laut komersial yang berada di Indonesia dapat menghasilkan karagenan, agar, dan penghasil alginate.
“Agar diolah menjadi produk akhir pangan, farmasi, kosmetik dan tissue. Sedangkan karagenan diproses lebih lanjut menjadi pangan, saus, pakan ternak serta farmasi. Adapun alginat juga dapat diolah menjadi pangan, saus, tekstil, kosmetik dan farmasi,” tuturnya.
Tertinggal Dibanding China
Kendati menjadi penghasil rumput laut terbesar di dunia, produk olahan rumput laut Indonesia justru masih kalah jauh dibandingkan dengan China.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) Sasmoyo S Boesari mengatakan, hal ini karena industri pengolahan rumput laut di dalam negeri kesulitan mendapatkan pasokan rumput laut.
"Negeri ini merupakan penghasil rumput laut terbesar di dunia, tetapi secara fakta industri dalam negeri kalah bersaing dengan perusahaan luar negeri untuk mendapatkan bahan baku disebabkan kalah dalam persaingan harga," ujarnya.
Menurut dia, China menjadi negara yang mendapat pasokan rumput laut Indonesia paling banyak. Sekitar 70% hingga 80% bahan baku rumput laut yang diolah di China berasal dari Indonesia.
"China bisa dikatakan 70% hingga 80% impor rumput laut dari Indonesia sebagai bahan baku. Dengan kebijakan mereka sudah dapat mempengaruhi peta market dunia," lanjut dia.
Hal ini karena pemerintah negeri tirai bambu tersebut memberikan beragam stimulus dan insentif kepada industrinya sehingga mampu membeli rumput laut dengan harga yang lebih mahal dibanding daya beli industri di dalam negeri.
"Para pengusahanya mendapatkan stimulus sekaligus insentif dari negara mereka dari 15% hingga 35%. Hal tersebut menyebabkan industri dalam negeri harus berjuang keras untuk membeli bahan baku," katanya.
Hal ini yang menyebabkan industri pengolahan rumput laut di dalam negeri tidak bisa berkembang dengan baik. Pemerintah diminta segera turun tangan untuk mengatasi hal ini.
"Hal inilah yang juga menyebabkan tidak berkembangnya refinery rumput laut di Indonesia. Di era globalisasi saat ini investasi bisa tidak terkendali dan semua investor bisa masuk sedangkan industri dalam negeri penguatannya belum siap," tandas dia.(*)
Sumber: di sini
Rabu, 16 Maret 2016
Strategi Pemasaran dengan Pembuatan Custom Packaging
Salah satu faktor kunci keberhasilan strategi pemasaran sebuah produk atau sebuah merek justru ditentukan oleh faktor sepele, yakni packaging (kemasan). Banyak tips atau saran atau pendapat yang dapat dipakai untuk menentukan strategi pemasaran melalui bentuk packaging yang tepat. Di antaranya pembuatan custom packaging yang dapat memberikan warna lain bagi produk/merek tertentu.
Ambil contoh, produk/merek untuk menyasar konsumen kelas menengah bawah harus dibedakan dari sisi packaging dengan produk untuk konsumen kelas atas. Eksklusivitas, bahan material pendukung, serta penentuan warna mesti menjadi acuan untuk strategi pemasaran packaging.
Berbicara tentang industri packaging sendiri, omzet industri kemasan (packaging) plastik di Indonesia tahun ini diestimasi mencapai Rp 72,8 triliun, meningkat 4% dibanding tahun lalu Rp 70 triliun, menurut data asosiasi industri. Proyeksi pertumbuhan itu telah dikoreksi turun dari target semula 8%, seiring perlambatan perekonomian nasional serta depresiasi kurs rupiah yang berkelanjutan.
Ariana Susanti, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (Indonesian Packaging Federation/IPF), menjelaskan produsen industri kemasan mengaku pesimistis dengan target pertumbuhan yang ditetapkan awal tahun ini, yakni 8%. “Kami pesimistis target pertumbuhan tahun ini sebesar 8% dapat tercapai dengan turunnya permintaan serta nilai tukar rupiah yang mengerek ongkos produksi,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, asosiasi industri kemasan merevisi turun target pertumbuhan menjadi hanya berkisar 3%-4% dari tahun lalu.
Dia menjelaskan selama ini pemilik merek yang membutuhkan kemasan mengontrak pemesanan untuk jangka waktu minimal satu tahun. Namun dengan lesunya konsumsi pasar domestik, pelaku industri tersebut menurunkan produksi dan berdampak pada kontrak pada industri pengemasan yang saat ini hanya dipesan untuk jangka waktu tiga bulan hingga enam bulan.
“Biasa brand owner pesannya jangka panjang, sudah ditentukan harga. Tapi dengan nilai tukar seperti ini kan perlu penyesuaian. Dulu kami berani stok bahan baku karena akan dipesan lagi. Sekarang karena dolar fluktuatif, tidak berani lagi,” ujarnya.
Saat ini masih banyak bahan baku yang diimpor seperti biji plastik yang 50% diimpor, kaleng dengan standar tertentu. Adapun bahan baku yang tersedia sepenuhnya di dalam negeri seperti kertas dinilai masih mahal.
Selain itu, lanjut dia, banyak juga pesanan kemasan yang lari keluar negeri. Misalnya seperti kemasan premium maupun jenis produk lain yang dipesan dalam jumlah yang sedikit.
“Mesin kita pada umumnya memang untuk yang produksi dalam jumlah banyak, misalnya untuk minimal pemesanan 500.000 unit, yang dibutuhkan hanya 20.000 unit. Tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan,” ujarnya.
Di sisi lain, mahalnya biaya logistik dan distribusi menaikkan biaya produksi hingga 40%. Jika dibandingkan negara sekawasan seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, ongkos logistik hanya berkisar 12%. Akibatnya, konsumen pengemasan menurunkan porsi biaya untuk spesifikasi kemasan seperti penggunaan varian warna.(*)
Sumber: di sini
Ambil contoh, produk/merek untuk menyasar konsumen kelas menengah bawah harus dibedakan dari sisi packaging dengan produk untuk konsumen kelas atas. Eksklusivitas, bahan material pendukung, serta penentuan warna mesti menjadi acuan untuk strategi pemasaran packaging.
Berbicara tentang industri packaging sendiri, omzet industri kemasan (packaging) plastik di Indonesia tahun ini diestimasi mencapai Rp 72,8 triliun, meningkat 4% dibanding tahun lalu Rp 70 triliun, menurut data asosiasi industri. Proyeksi pertumbuhan itu telah dikoreksi turun dari target semula 8%, seiring perlambatan perekonomian nasional serta depresiasi kurs rupiah yang berkelanjutan.
Ariana Susanti, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (Indonesian Packaging Federation/IPF), menjelaskan produsen industri kemasan mengaku pesimistis dengan target pertumbuhan yang ditetapkan awal tahun ini, yakni 8%. “Kami pesimistis target pertumbuhan tahun ini sebesar 8% dapat tercapai dengan turunnya permintaan serta nilai tukar rupiah yang mengerek ongkos produksi,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, asosiasi industri kemasan merevisi turun target pertumbuhan menjadi hanya berkisar 3%-4% dari tahun lalu.
Dia menjelaskan selama ini pemilik merek yang membutuhkan kemasan mengontrak pemesanan untuk jangka waktu minimal satu tahun. Namun dengan lesunya konsumsi pasar domestik, pelaku industri tersebut menurunkan produksi dan berdampak pada kontrak pada industri pengemasan yang saat ini hanya dipesan untuk jangka waktu tiga bulan hingga enam bulan.
“Biasa brand owner pesannya jangka panjang, sudah ditentukan harga. Tapi dengan nilai tukar seperti ini kan perlu penyesuaian. Dulu kami berani stok bahan baku karena akan dipesan lagi. Sekarang karena dolar fluktuatif, tidak berani lagi,” ujarnya.
Saat ini masih banyak bahan baku yang diimpor seperti biji plastik yang 50% diimpor, kaleng dengan standar tertentu. Adapun bahan baku yang tersedia sepenuhnya di dalam negeri seperti kertas dinilai masih mahal.
Selain itu, lanjut dia, banyak juga pesanan kemasan yang lari keluar negeri. Misalnya seperti kemasan premium maupun jenis produk lain yang dipesan dalam jumlah yang sedikit.
“Mesin kita pada umumnya memang untuk yang produksi dalam jumlah banyak, misalnya untuk minimal pemesanan 500.000 unit, yang dibutuhkan hanya 20.000 unit. Tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan,” ujarnya.
Di sisi lain, mahalnya biaya logistik dan distribusi menaikkan biaya produksi hingga 40%. Jika dibandingkan negara sekawasan seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, ongkos logistik hanya berkisar 12%. Akibatnya, konsumen pengemasan menurunkan porsi biaya untuk spesifikasi kemasan seperti penggunaan varian warna.(*)
Sumber: di sini
Senin, 14 Maret 2016
Inilah Penguasa Industri Elektronik di Indonesia
Sekitar sepuluh perusahaan elektronik terbesar di Indonesia berkompetisi memperebutkan pasar elektronik di Indonesia senilai Rp 83 triliun. Sepuluh perusahaan elektronik terbesar itu adalah, PT LG Electronics Indonesia, PT Samsung Electronics Indonesia, PT Panasonic Gobel Indonesia, PT Toshiba Visual Media Network Indonesia, PT Sharp Electronics Indonesia, PT Hartono Istana Teknologi (Polytron), PT Sanyo Sales Indonesia, PT Maspion Group, PT Istana Argo Kencana (Sanken), PT Midea Electronics Indonesia.
Tim redaksi duniaindustri.com mengolah data berbagai sumber untuk mengetahui nilai penjualan 10 perusahaan elektronik terbesar tersebut. Dari 10 perusahaan elektronik tersebut, 4 berasal dari Jepang, 2 berasal dari Korea Selatan, 3 berasal dari Indonesia, dan 1 dari China.
Data dari berbagai sumber menyatakan, PT Sharp Electronics Indonesia, produsen elektronik asal Jepang, meraup penjualan tahun fiskal 2010-2011 sebesar Rp 5,5 triliun. PT LG Electronics Indonesia mencatatkan penjualan sebesar Rp 5,2 triliun sepanjang 2010. Sementara PT Samsung Electronics Indonesia memperkirakan omzet penjualan sekitar Rp 5 triliun di 2006.
PT Panasonic Gobel Indonesia (PGI) menargetkan penjualan melonjak sebesar 32% menjadi Rp 5,28 triliun di 2011 dibandingkan 2010. “Kenaikan penjualan itu kalau dari nilainya tahun 2010 sekitar Rp 4 triliun, sedangkan target penjualan tahun 2012 sebesar Rp 10 triliun,” ujar Ichiro Suganuma, Presiden Direktur Panasonic Gobel Indonesia, belum lama ini.
PT Toshiba Visual Media Network Indonesia meraih penjualan di Indonesia rata-rata mencapai US$ 280 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun per tahun. Dari jumlah itu, US$ 250 juta (sekitar Rp 2,25 triliun) merupakan hasil ekspor ke mancanegara dan US$ 30 juta (sekitar Rp 270 miliar) hasil penjualan di pasar dalam negeri.
PT Sanyo Sales Indonesia menargetkan penjualan sebesar Rp 2 triliun pada 2010 di pasar Indonesia. “Pertumbuhan pasar Indonesia cukup potensial bagi Sanyo,” kata Presiden Direktur PT Sanyo Sales Indonesia (SSI) Toshihide Miyamoto.
PT Hartono Istana Teknologi, produsen elektronik bermerek Polytron, menargetkan penjualan hingga Rp 2,5 triliun pada 2011 atau naik 25% dari penjualan 2010 sebesar Rp 2 triliun.
Sedangkan PT Maspion Group meraup penjualan produk elektronik rumah tangga seperti kipas angin untuk pasar domestik sebesar Rp 1,51 triliun, dan penjualan ekspor sebesar Rp 435,68 miliar.
PT Istana Argo Kencana, produsen elektronik merek Sanken, mampu meraih penjualan di atas Rp 250 miliar. PT Midea Electronics Indonesia, produsen elektronik asal China, menargetkan penjualan pada 2011 senilai Rp 200 miliar.(*)
Sumber: di sini
Tim redaksi duniaindustri.com mengolah data berbagai sumber untuk mengetahui nilai penjualan 10 perusahaan elektronik terbesar tersebut. Dari 10 perusahaan elektronik tersebut, 4 berasal dari Jepang, 2 berasal dari Korea Selatan, 3 berasal dari Indonesia, dan 1 dari China.
Data dari berbagai sumber menyatakan, PT Sharp Electronics Indonesia, produsen elektronik asal Jepang, meraup penjualan tahun fiskal 2010-2011 sebesar Rp 5,5 triliun. PT LG Electronics Indonesia mencatatkan penjualan sebesar Rp 5,2 triliun sepanjang 2010. Sementara PT Samsung Electronics Indonesia memperkirakan omzet penjualan sekitar Rp 5 triliun di 2006.
PT Panasonic Gobel Indonesia (PGI) menargetkan penjualan melonjak sebesar 32% menjadi Rp 5,28 triliun di 2011 dibandingkan 2010. “Kenaikan penjualan itu kalau dari nilainya tahun 2010 sekitar Rp 4 triliun, sedangkan target penjualan tahun 2012 sebesar Rp 10 triliun,” ujar Ichiro Suganuma, Presiden Direktur Panasonic Gobel Indonesia, belum lama ini.
PT Toshiba Visual Media Network Indonesia meraih penjualan di Indonesia rata-rata mencapai US$ 280 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun per tahun. Dari jumlah itu, US$ 250 juta (sekitar Rp 2,25 triliun) merupakan hasil ekspor ke mancanegara dan US$ 30 juta (sekitar Rp 270 miliar) hasil penjualan di pasar dalam negeri.
PT Sanyo Sales Indonesia menargetkan penjualan sebesar Rp 2 triliun pada 2010 di pasar Indonesia. “Pertumbuhan pasar Indonesia cukup potensial bagi Sanyo,” kata Presiden Direktur PT Sanyo Sales Indonesia (SSI) Toshihide Miyamoto.
PT Hartono Istana Teknologi, produsen elektronik bermerek Polytron, menargetkan penjualan hingga Rp 2,5 triliun pada 2011 atau naik 25% dari penjualan 2010 sebesar Rp 2 triliun.
Sedangkan PT Maspion Group meraup penjualan produk elektronik rumah tangga seperti kipas angin untuk pasar domestik sebesar Rp 1,51 triliun, dan penjualan ekspor sebesar Rp 435,68 miliar.
PT Istana Argo Kencana, produsen elektronik merek Sanken, mampu meraih penjualan di atas Rp 250 miliar. PT Midea Electronics Indonesia, produsen elektronik asal China, menargetkan penjualan pada 2011 senilai Rp 200 miliar.(*)
Sumber: di sini
Minggu, 13 Maret 2016
Indeks Data, Riset, Laporan, Analisis Industri di Indonesia
Duniaindustri.com memperkenalkan fitur terbaru yakni download database industri aktual. Lebih dari 100 database industri dari berbagai sektor industri manufaktur (tekstil, agro, kimia, makanan-minuman, elektronik, farmasi, otomotif, rokok, semen, perkapalan, dan lainnya), komoditas, pertanian, perkebunan, sumber daya mineral, logistik, infrastruktur, properti, perbankan, reksadana, media, consumer, hingga makro-ekonomi.
Duniaindustri.com memberikan diskon paket pembelian data industri 30%-50% dengan menjadi member tahunan. Segera hubungi kami untuk kebutuhan data industri, analisis, riset, kajian, dan market research lainnya.
Database industri sangat bermanfaat bagi perusahaan maupun perorangan, investor, pemangku kebijakan, direksi perusahaan, marketer, lembaga pemerintahan, institusi asing, lembaga pembiayaan, mahasiswa, dan lainnya.
Duniaindustri.com menyediakan indeks data industri yang bisa didownload user untuk memberikan gambaran atau acuan perkembangan sektor industri tertentu. Saat ini duniaindustri.com menghimpun lebih dari 1000 ukm dan lebih dari 10.000 basis user baik secara perorangan maupun perusahaan, serta industrial agent dari 10 negara di dunia, seperti Korea Selatan, Jepang, Eropa, Dubai.
Indeks Data Industri yang bisa didownload:
Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017
Riset Peta Persaingan Industri Semen 2015-2017
Data dan Analisis Industri Oli Pelumas 2007-2016
Riset Komprehensif Industri Susu Olahan 2013-2016
Data dan Outlook Industri Susu & Teh Siap Minum 2013-2016
Data dan Outlook Industri Farmasi 2010-2019
Data dan Outlook Industri Batubara 2011-2030
Data dan Outlook Industri Semen 2003-2019
Data dan Outlook Industri Rokok 2005-2016
Data dan Outlook Industri Petrokimia 2009-2016
Data dan Outlook Transportasi, Logistik, dan Infrastruktur 2009-2019
Data Industri Minimarket, Supermarket, Hypermarket, dan Modern Trade di Indonesia 2012-2015
Data dan Outlook Industri Oleokimia dan Biodiesel 2015-2016
Data dan Outlook Industri Consumer Goods 2016
Tren Fashion dan Data Industri Tekstil
Data industri sepeda motor dan velg motor di Indonesia
Outlook Industri Otomotif 2016-2018
Outlook Industri CPO 2016
Data Pasar Surat Utang di Indonesia dan ASEAN
Data Kejatuhan Harga Komoditas Ekspor Indonesia dan Depresiasi Rupiah
Data Investasi, Insentif, serta Kawasan Ekonomi Khusus Perkebunan Sawit 2010-2015
Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO 2009-2015
Data dan Analisis Industri Elektronik Menghadapi ASEAN Community
Data dan Analisis Industri Pakan Ternak dan Perunggasan 2007-2017
Data dan Analisis Industri Baja Periode 2000-2014
Data Investasi Baru, Kapasitas, serta Tren Penjualan Semen 2013-2017
Data Market Insight Private Equity di Asia Tenggara
Data Hilirisasi Industri Sawit, dari Regulasi hingga Persebaran Investasi
Data Sumberdaya Batubara, Tren Harga, serta Biaya Produksi per Ton
Data Industri Semen di Asia Tenggara, Pangsa Pemain, dan Pertumbuhan Pasar
Data Industri Properti dan Perbandingan Harga di Indonesia
Data Industri Perbankan, Reksadana, Asuransi, dan Multifinance di Indonesia
Data Industri Televisi Berlangganan di Indonesia
Data Industri Media dan Belanja Iklan di Indonesia
Data Industri Angkutan Darat (Taksi) di Indonesia
Data Tingkat Kepemilikan dan Minat Beli Mobil di Indonesia
Data Energi Terbarukan (Sawit dan Biofuel) Indonesia
Data Perkebunan Sawit dan Produsen Hilir Terbesar Dunia
Data Outlook Pasar Minyak Nabati China
Data Perubahan Iklim Terkait Sektor Perkebunan di Indonesia
Data Outlook Sektor Transportasi dan Logistik 2014-2018
Data Pasokan dan Permintaan Batubara Termal Global
Data Pasar Minimarket dan Restoran Cepat Saji di Indonesia
Data Produksi, Defisit Pasokan, serta Harga Timah
Data Penjualan Per Merek Mobil
Data dan Analisis Outlook Industri Otomotif
Data dan Analisis Penjualan Motor dan Mobil (LCGC)
Data Strategi Pengembangan Sawit dan Batubara di Indonesia
Data Industri Perkapalan Indonesia
Data Penjualan Mobil Per Segmen Kendaraan
Data Produksi, Ekspor, dan Investasi 15 Komoditas Utama Indonesia
Data Komprehensif Industri Otomotif dan Kebijakan Pemerintah
Data Tren Harga dan Produksi Minyak Nabati Utama
Data Keseimbangan Pasokan-Kebutuhan Sawit dan Dampaknya ke Harga
Data Komprehensif Industri Biofuels dan Produk Hilir CPO
Data Industri Petrokimia, Kimia Dasar, dan Logam Dasar
Data Daya Saing Industri Indonesia di Asean Community 2015
Data Prospek Investasi dan Kebutuhan Lahan Kawasan Industri
Data Industri Makanan-Minuman dan Program Hilirisasi
Data Komprehensif Sasaran, Fokus, dan Kinerja Industri Pengolahan
Data Komprehensif Industri Baja di Indonesia
Data Peranan Industri Sawit sebagai Penghasil Devisa Ekspor
Data Daya Saing Industri dilihat dari Sistem Logistik Nasional
Data Segmentasi dan Jumlah Konsumen Kelas Menengah di Indonesia (2012-2030)
Data Industri Batubata (Brick) di Indonesia dan Malaysia
Data Investasi Infrastruktur, Proyek Pembangunan Pelabuhan, Jalan, Bandara, Kereta Api di Indonesia
Data Masterplan Konektivitas Nasional (2010-2030)
Data Konsumsi dan Impor Susu di Indonesia (periode lima tahun terakhir)
Data Komparasi Konsumsi Semen dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (10 tahun terakhir)
Data Produksi dan Ekspor-Impor Industri Aneka
Data Komprehensif Industri Farmasi Indonesia (Periode Lima Tahun Terakhir)
Data Komprehensif Sistem Logistik Nasional (Sislognas) Indonesia
Data Komprehensif Industri Tekstil Indonesia (periode tiga tahun terakhir)
Data Top 20 Produsen Obat Generik di Indonesia
Data Pasar Kosmetik Indonesia (periode empat tahun terakhir)
Data Volume dan Nilai Ekspor CPO, Tarif Bea Keluar, HPE
Data Omzet dan Top 10 Player Industri Makanan-Minuman
Data Pasar Alat Kesehatan di Asia Pasifik
Data Produksi dan Utilisasi 4 Produsen Kertas Terbesar di Indonesia
Data Pangsa Pasar Top 10 Perusahaan Benang dan Serat
Data Industri Alat Musik, Mainan, dan Perhiasan
Data Permintaan Baja di Indonesia (sepuluh tahun terakhir)
Strategi Ekspansi dan Kapasitas Produksi BUMN Semen Terbesar
Data Produksi Gula, Tebu, dan Area Lahan
Data Buyer Agent Tekstil Terbesar dan Representative Office di Indonesia
Data Jumlah Kendaraan Bermotor, dan Panjang Jalan di Indonesia
Data Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasarkan Jenis
Data Pangsa Pasar Lima Produsen Ban di Indonesia
Data Produksi dan Ekspor-Impor Industri Aneka
Data Penjualan dan Pangsa Pasar 4 Perusahaan Rokok Terbesar
Data Pasar Farmasi di Asia Pasifik
Data Belanja Alat Kesehatan di Indonesia
Data Kapasitas dan Utilisasi Industri Aneka
Kajian Komprehensif Tiga Pemimpin Pasar Semen Indonesia
Kajian Komprehensif Industri Kertas di Indonesia
Data Produksi dan Pangsa Pasar 4 Pemimpin Pasar Baja Canai Panas (HRC)
Duniaindustri.com memberikan diskon paket pembelian data industri 30%-50% dengan menjadi member tahunan. Segera hubungi kami untuk kebutuhan data industri, analisis, riset, kajian, dan market research lainnya.
Database industri sangat bermanfaat bagi perusahaan maupun perorangan, investor, pemangku kebijakan, direksi perusahaan, marketer, lembaga pemerintahan, institusi asing, lembaga pembiayaan, mahasiswa, dan lainnya.
Duniaindustri.com menyediakan indeks data industri yang bisa didownload user untuk memberikan gambaran atau acuan perkembangan sektor industri tertentu. Saat ini duniaindustri.com menghimpun lebih dari 1000 ukm dan lebih dari 10.000 basis user baik secara perorangan maupun perusahaan, serta industrial agent dari 10 negara di dunia, seperti Korea Selatan, Jepang, Eropa, Dubai.
Indeks Data Industri yang bisa didownload:
Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017
Riset Peta Persaingan Industri Semen 2015-2017
Data dan Analisis Industri Oli Pelumas 2007-2016
Riset Komprehensif Industri Susu Olahan 2013-2016
Data dan Outlook Industri Susu & Teh Siap Minum 2013-2016
Data dan Outlook Industri Farmasi 2010-2019
Data dan Outlook Industri Batubara 2011-2030
Data dan Outlook Industri Semen 2003-2019
Data dan Outlook Industri Rokok 2005-2016
Data dan Outlook Industri Petrokimia 2009-2016
Data dan Outlook Transportasi, Logistik, dan Infrastruktur 2009-2019
Data Industri Minimarket, Supermarket, Hypermarket, dan Modern Trade di Indonesia 2012-2015
Data dan Outlook Industri Oleokimia dan Biodiesel 2015-2016
Data dan Outlook Industri Consumer Goods 2016
Tren Fashion dan Data Industri Tekstil
Data industri sepeda motor dan velg motor di Indonesia
Outlook Industri Otomotif 2016-2018
Outlook Industri CPO 2016
Data Pasar Surat Utang di Indonesia dan ASEAN
Data Kejatuhan Harga Komoditas Ekspor Indonesia dan Depresiasi Rupiah
Data Investasi, Insentif, serta Kawasan Ekonomi Khusus Perkebunan Sawit 2010-2015
Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO 2009-2015
Data dan Analisis Industri Elektronik Menghadapi ASEAN Community
Data dan Analisis Industri Pakan Ternak dan Perunggasan 2007-2017
Data dan Analisis Industri Baja Periode 2000-2014
Data Investasi Baru, Kapasitas, serta Tren Penjualan Semen 2013-2017
Data Market Insight Private Equity di Asia Tenggara
Data Hilirisasi Industri Sawit, dari Regulasi hingga Persebaran Investasi
Data Sumberdaya Batubara, Tren Harga, serta Biaya Produksi per Ton
Data Industri Semen di Asia Tenggara, Pangsa Pemain, dan Pertumbuhan Pasar
Data Industri Properti dan Perbandingan Harga di Indonesia
Data Industri Perbankan, Reksadana, Asuransi, dan Multifinance di Indonesia
Data Industri Televisi Berlangganan di Indonesia
Data Industri Media dan Belanja Iklan di Indonesia
Data Industri Angkutan Darat (Taksi) di Indonesia
Data Tingkat Kepemilikan dan Minat Beli Mobil di Indonesia
Data Energi Terbarukan (Sawit dan Biofuel) Indonesia
Data Perkebunan Sawit dan Produsen Hilir Terbesar Dunia
Data Outlook Pasar Minyak Nabati China
Data Perubahan Iklim Terkait Sektor Perkebunan di Indonesia
Data Outlook Sektor Transportasi dan Logistik 2014-2018
Data Pasokan dan Permintaan Batubara Termal Global
Data Pasar Minimarket dan Restoran Cepat Saji di Indonesia
Data Produksi, Defisit Pasokan, serta Harga Timah
Data Penjualan Per Merek Mobil
Data dan Analisis Outlook Industri Otomotif
Data dan Analisis Penjualan Motor dan Mobil (LCGC)
Data Strategi Pengembangan Sawit dan Batubara di Indonesia
Data Industri Perkapalan Indonesia
Data Penjualan Mobil Per Segmen Kendaraan
Data Produksi, Ekspor, dan Investasi 15 Komoditas Utama Indonesia
Data Komprehensif Industri Otomotif dan Kebijakan Pemerintah
Data Tren Harga dan Produksi Minyak Nabati Utama
Data Keseimbangan Pasokan-Kebutuhan Sawit dan Dampaknya ke Harga
Data Komprehensif Industri Biofuels dan Produk Hilir CPO
Data Industri Petrokimia, Kimia Dasar, dan Logam Dasar
Data Daya Saing Industri Indonesia di Asean Community 2015
Data Prospek Investasi dan Kebutuhan Lahan Kawasan Industri
Data Industri Makanan-Minuman dan Program Hilirisasi
Data Komprehensif Sasaran, Fokus, dan Kinerja Industri Pengolahan
Data Komprehensif Industri Baja di Indonesia
Data Peranan Industri Sawit sebagai Penghasil Devisa Ekspor
Data Daya Saing Industri dilihat dari Sistem Logistik Nasional
Data Segmentasi dan Jumlah Konsumen Kelas Menengah di Indonesia (2012-2030)
Data Industri Batubata (Brick) di Indonesia dan Malaysia
Data Investasi Infrastruktur, Proyek Pembangunan Pelabuhan, Jalan, Bandara, Kereta Api di Indonesia
Data Masterplan Konektivitas Nasional (2010-2030)
Data Konsumsi dan Impor Susu di Indonesia (periode lima tahun terakhir)
Data Komparasi Konsumsi Semen dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (10 tahun terakhir)
Data Produksi dan Ekspor-Impor Industri Aneka
Data Komprehensif Industri Farmasi Indonesia (Periode Lima Tahun Terakhir)
Data Komprehensif Sistem Logistik Nasional (Sislognas) Indonesia
Data Komprehensif Industri Tekstil Indonesia (periode tiga tahun terakhir)
Data Top 20 Produsen Obat Generik di Indonesia
Data Pasar Kosmetik Indonesia (periode empat tahun terakhir)
Data Volume dan Nilai Ekspor CPO, Tarif Bea Keluar, HPE
Data Omzet dan Top 10 Player Industri Makanan-Minuman
Data Pasar Alat Kesehatan di Asia Pasifik
Data Produksi dan Utilisasi 4 Produsen Kertas Terbesar di Indonesia
Data Pangsa Pasar Top 10 Perusahaan Benang dan Serat
Data Industri Alat Musik, Mainan, dan Perhiasan
Data Permintaan Baja di Indonesia (sepuluh tahun terakhir)
Strategi Ekspansi dan Kapasitas Produksi BUMN Semen Terbesar
Data Produksi Gula, Tebu, dan Area Lahan
Data Buyer Agent Tekstil Terbesar dan Representative Office di Indonesia
Data Jumlah Kendaraan Bermotor, dan Panjang Jalan di Indonesia
Data Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasarkan Jenis
Data Pangsa Pasar Lima Produsen Ban di Indonesia
Data Produksi dan Ekspor-Impor Industri Aneka
Data Penjualan dan Pangsa Pasar 4 Perusahaan Rokok Terbesar
Data Pasar Farmasi di Asia Pasifik
Data Belanja Alat Kesehatan di Indonesia
Data Kapasitas dan Utilisasi Industri Aneka
Kajian Komprehensif Tiga Pemimpin Pasar Semen Indonesia
Kajian Komprehensif Industri Kertas di Indonesia
Data Produksi dan Pangsa Pasar 4 Pemimpin Pasar Baja Canai Panas (HRC)
Minggu, 06 Maret 2016
Harga CPO Diprediksi Naik, Saatnya Investasi
PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), emiten perkebunan kelapa sawit, memperbesar porsi anggaran belanja modal (capex) 2016 seiring perkiraan kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam tiga tahun ke depan di kisaran Rp7.000-7.200 per kilogram. Kenaikan belanja modal itu sebagai strategi ekspansi lanjutan setelah perseroan melakukan akuisisi pada 2015 untuk memperbesar lahan.
Presiden Direktur Sawit Sumbermas Rimbun Situmorang mengatakan, tahun ini pihaknya menyiapkan capex senilai US$ 50 juta. “Sebesar US$ 35 juta untuk akuisisi kebun baru dan sebesar US$ 15 juta untuk maintenance kebun yang ada,” katanya.
Dia mengungkapkan, saat ini perseroan tengah mencari peluang untuk dapat mengakuisisi kebun muda maksimal berumur tujuh tahun. “Kami akan mencari kebun di sekitar kebun kami atau paling tidak ada di Kalimantan Tengah. Supaya biaya kontrolnya lebih murah,” ucapnya.
Rimbun menyebutkan, pada 2015 perseroan mengakuisisi perkebunan PT Menteng Kencana Mas dan PT Mirza Pratama Putra, sehingga saat ini SSMS memiliki total lahan mencapai 99.618 hektare, dengan area tertanam seluas 66.693 hektare.
Pada tahun ini, produksi tandan buah segar (TBS) perseroan diperkirakan mencapai 1,5 juta ton. “Target produksi bisa tumbuh 10 persen di tahun ini,” ujar Rimbun.
Sejauh ini Sawit Sumbermas mengoperasikan enam pabrik kelapa sawit (PKS) dengan utilisasi sebesar 75%. Artinya, rata-rata operasional mesin-mesin pabrik tersebut mengolah 375 ton TBS per jam selama 20 jam per hari dan 300 hari per tahun.
“Kami tidak bisa mengoperasikan mesin hingga 100 persen. Sebesar 75 persen itu sudah optimal. Bahkan, sebelum terjadi kerusakan mesin, kami juga sudah menyiapkan mesin pabrik yang lain. Kapasitas produksi CPO kami 283 ribu ton per tahun,” paparnya.
Dia mengaku, penurunan harga CPO global tidak berpengaruh besar terhadap kinerja perseroan yang berorietasi memenuhi kebutuhan pasar domestik. “El nino di 2015 atau pun la nina di 2016 yang justru mengganggu kami. Apakah CPO turun, lalu harga Bimoli (merek minyak goreng) juga turun?” imbuhnya.
Rimbun mengungkapkan, fenomena el nino telah berdampak pada penurunan produksi berkisar 5%-15%. “Penurunan harga CPO sebesar 16 persen tidak berdampak secara operasional, tetapi memang secara revenue berkurang,” ujar Rimbun.
Pada dasarnya, jelas dia, penurunan harga CPO global telah mengganggu kinerja seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Tetapi, selama ini kami bisa me-maintenance biaya operasional. Karena, kebun kami berada di satu hamparan, sedangkan kebun orang lain terpisah-pisah,” ucapmya.
Direktur Sawit Sumbermas Harry M Nadir memperkirakan, dalam kurun tiga tahun ke depan harga CPO akan mengalami kenaikan rata-rata hingga Rp7.200 per kilogram. “Kisaran kami di Rp7.000-7.200/kg. Tetapi, range tersebut tergantung dari fluktuasi rupiah,” jelasnya.
Harry menyebutkan, kajian SSMS terkait potensi penguatan harga CPO tersebut mengacu pada pertimbangan kurs rata-rata rupiah di 2016 sebesar Rp13.800 per dollar AS. “Range perkiraan harga CPO itu kami dasari pada asumsi di APBN 2016,” ucapnya.
Dia menambahkan, guna mendukung penguatan harga CPO, saat ini SSMS bersama dengan induk PT Citra Borneo Indah tengah membangun pabrik pengolahan senilai US$60 juta. Nantinya, kapasitas produksi pabrik mencapai 2.500 ton olein/hari dan 1.000 ton biodiesel/hari.
“Sebesar 100% TBS yang kami produksi akan masuk ke pabrik ini dan diharapkan bisa beroperasi pada 2017, sekarang masih tahap konstruksi. Penyertaan kami di hilir sebesar 18,6% dari belanja modal,” jelas Harry.
Menurut dia, pihaknya mengapresiasi kebijakan pemerintah terkait biodiesel berkadar campuran CPO sebesar 20 persen (B20). “Kebijakan B20 dari pemerintah itu merupakan peluang bagi industri sawit,” katanya.(*)
Sumber: di sini
Presiden Direktur Sawit Sumbermas Rimbun Situmorang mengatakan, tahun ini pihaknya menyiapkan capex senilai US$ 50 juta. “Sebesar US$ 35 juta untuk akuisisi kebun baru dan sebesar US$ 15 juta untuk maintenance kebun yang ada,” katanya.
Dia mengungkapkan, saat ini perseroan tengah mencari peluang untuk dapat mengakuisisi kebun muda maksimal berumur tujuh tahun. “Kami akan mencari kebun di sekitar kebun kami atau paling tidak ada di Kalimantan Tengah. Supaya biaya kontrolnya lebih murah,” ucapnya.
Rimbun menyebutkan, pada 2015 perseroan mengakuisisi perkebunan PT Menteng Kencana Mas dan PT Mirza Pratama Putra, sehingga saat ini SSMS memiliki total lahan mencapai 99.618 hektare, dengan area tertanam seluas 66.693 hektare.
Pada tahun ini, produksi tandan buah segar (TBS) perseroan diperkirakan mencapai 1,5 juta ton. “Target produksi bisa tumbuh 10 persen di tahun ini,” ujar Rimbun.
Sejauh ini Sawit Sumbermas mengoperasikan enam pabrik kelapa sawit (PKS) dengan utilisasi sebesar 75%. Artinya, rata-rata operasional mesin-mesin pabrik tersebut mengolah 375 ton TBS per jam selama 20 jam per hari dan 300 hari per tahun.
“Kami tidak bisa mengoperasikan mesin hingga 100 persen. Sebesar 75 persen itu sudah optimal. Bahkan, sebelum terjadi kerusakan mesin, kami juga sudah menyiapkan mesin pabrik yang lain. Kapasitas produksi CPO kami 283 ribu ton per tahun,” paparnya.
Dia mengaku, penurunan harga CPO global tidak berpengaruh besar terhadap kinerja perseroan yang berorietasi memenuhi kebutuhan pasar domestik. “El nino di 2015 atau pun la nina di 2016 yang justru mengganggu kami. Apakah CPO turun, lalu harga Bimoli (merek minyak goreng) juga turun?” imbuhnya.
Rimbun mengungkapkan, fenomena el nino telah berdampak pada penurunan produksi berkisar 5%-15%. “Penurunan harga CPO sebesar 16 persen tidak berdampak secara operasional, tetapi memang secara revenue berkurang,” ujar Rimbun.
Pada dasarnya, jelas dia, penurunan harga CPO global telah mengganggu kinerja seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Tetapi, selama ini kami bisa me-maintenance biaya operasional. Karena, kebun kami berada di satu hamparan, sedangkan kebun orang lain terpisah-pisah,” ucapmya.
Direktur Sawit Sumbermas Harry M Nadir memperkirakan, dalam kurun tiga tahun ke depan harga CPO akan mengalami kenaikan rata-rata hingga Rp7.200 per kilogram. “Kisaran kami di Rp7.000-7.200/kg. Tetapi, range tersebut tergantung dari fluktuasi rupiah,” jelasnya.
Harry menyebutkan, kajian SSMS terkait potensi penguatan harga CPO tersebut mengacu pada pertimbangan kurs rata-rata rupiah di 2016 sebesar Rp13.800 per dollar AS. “Range perkiraan harga CPO itu kami dasari pada asumsi di APBN 2016,” ucapnya.
Dia menambahkan, guna mendukung penguatan harga CPO, saat ini SSMS bersama dengan induk PT Citra Borneo Indah tengah membangun pabrik pengolahan senilai US$60 juta. Nantinya, kapasitas produksi pabrik mencapai 2.500 ton olein/hari dan 1.000 ton biodiesel/hari.
“Sebesar 100% TBS yang kami produksi akan masuk ke pabrik ini dan diharapkan bisa beroperasi pada 2017, sekarang masih tahap konstruksi. Penyertaan kami di hilir sebesar 18,6% dari belanja modal,” jelas Harry.
Menurut dia, pihaknya mengapresiasi kebijakan pemerintah terkait biodiesel berkadar campuran CPO sebesar 20 persen (B20). “Kebijakan B20 dari pemerintah itu merupakan peluang bagi industri sawit,” katanya.(*)
Sumber: di sini
Langganan:
Postingan (Atom)