Salah satu faktor kunci keberhasilan strategi pemasaran sebuah produk atau sebuah merek justru ditentukan oleh faktor sepele, yakni packaging (kemasan). Banyak tips atau saran atau pendapat yang dapat dipakai untuk menentukan strategi pemasaran melalui bentuk packaging yang tepat. Di antaranya pembuatan custom packaging yang dapat memberikan warna lain bagi produk/merek tertentu.
Ambil contoh, produk/merek untuk menyasar konsumen kelas menengah bawah harus dibedakan dari sisi packaging dengan produk untuk konsumen kelas atas. Eksklusivitas, bahan material pendukung, serta penentuan warna mesti menjadi acuan untuk strategi pemasaran packaging.
Berbicara tentang industri packaging sendiri, omzet industri kemasan (packaging) plastik di Indonesia tahun ini diestimasi mencapai Rp 72,8 triliun, meningkat 4% dibanding tahun lalu Rp 70 triliun, menurut data asosiasi industri. Proyeksi pertumbuhan itu telah dikoreksi turun dari target semula 8%, seiring perlambatan perekonomian nasional serta depresiasi kurs rupiah yang berkelanjutan.
Ariana Susanti, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (Indonesian Packaging Federation/IPF), menjelaskan produsen industri kemasan mengaku pesimistis dengan target pertumbuhan yang ditetapkan awal tahun ini, yakni 8%. “Kami pesimistis target pertumbuhan tahun ini sebesar 8% dapat tercapai dengan turunnya permintaan serta nilai tukar rupiah yang mengerek ongkos produksi,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, asosiasi industri kemasan merevisi turun target pertumbuhan menjadi hanya berkisar 3%-4% dari tahun lalu.
Dia menjelaskan selama ini pemilik merek yang membutuhkan kemasan mengontrak pemesanan untuk jangka waktu minimal satu tahun. Namun dengan lesunya konsumsi pasar domestik, pelaku industri tersebut menurunkan produksi dan berdampak pada kontrak pada industri pengemasan yang saat ini hanya dipesan untuk jangka waktu tiga bulan hingga enam bulan.
“Biasa brand owner pesannya jangka panjang, sudah ditentukan harga. Tapi dengan nilai tukar seperti ini kan perlu penyesuaian. Dulu kami berani stok bahan baku karena akan dipesan lagi. Sekarang karena dolar fluktuatif, tidak berani lagi,” ujarnya.
Saat ini masih banyak bahan baku yang diimpor seperti biji plastik yang 50% diimpor, kaleng dengan standar tertentu. Adapun bahan baku yang tersedia sepenuhnya di dalam negeri seperti kertas dinilai masih mahal.
Selain itu, lanjut dia, banyak juga pesanan kemasan yang lari keluar negeri. Misalnya seperti kemasan premium maupun jenis produk lain yang dipesan dalam jumlah yang sedikit.
“Mesin kita pada umumnya memang untuk yang produksi dalam jumlah banyak, misalnya untuk minimal pemesanan 500.000 unit, yang dibutuhkan hanya 20.000 unit. Tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan,” ujarnya.
Di sisi lain, mahalnya biaya logistik dan distribusi menaikkan biaya produksi hingga 40%. Jika dibandingkan negara sekawasan seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, ongkos logistik hanya berkisar 12%. Akibatnya, konsumen pengemasan menurunkan porsi biaya untuk spesifikasi kemasan seperti penggunaan varian warna.(*)
Sumber: di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar